Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita รจ bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Memaknai Hidup dari Penderita HIV/AIDS Ini

7 Agustus 2016   02:54 Diperbarui: 9 Agustus 2016   16:27 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anna Maria berkaus hijau paling kiri, dan Sara, di sebelah kanan ada Sabatino yang bertongkat dan Massimo sedang duduk

Satu di antara sekian penyakit yang menakutkan di dunia saat ini adalah penyakit HIV/AIDS. Tak jarang, mereka yang tervonis penyakit ini pun dianggap tak bisa hidup lagi. Hidup mereka dianggap berakhir. Tidak ada harapan untuk kehidupan selanjutnya. Dengan kata lain, mereka hidup hanya menunggu ajal saja.

Anggapan ini memang ada benarnya. Banyak data yang memperkuatnya. Tahun 2010 di seluruh dunia ditemukan sekitar 34 juta penderita HIV/AIDS. Sekitar 10% dari jumlah ini adalah anak-anak. Tetapi, apakah mereka ini termasuk mereka yang tidak punya harapan hidup?

Tentu tidak. Mereka adalah manusia seperti kita semua, memiliki penyakit tetapi tidak 100% tidak memiliki harapan hidup. Manusia hidup saja selalu merupakan sebuah harapan. Jadi, penderita HIV/AIDS ini juga adalah mereka yang memiliki harapan hidup.

Pada minggu ketiga (18-25) bulan Juli yang lalu, saya masuk dalam dunia penderita HIV/AIDS ini. Saya tidak sengaja dipertemukan dengan mereka. Sama sekali tidak ada rencana. Boleh dibilang sebuah kebetulan. Tetapi, kebetulan yang pada akhirnya menjadi sebuah ketidakbetulan.

Saat itu, saya bersama anak-anak didikan kami pergi mengunjungi mereka setiap hari. Dari pagi sampai setelah makan siang. Kadang-kadang kami pulang sebelum makan siang.

Ceritanya, kami sedang membuat sebuah kegiatan formasi pada musim panas untuk anak-anak muda. Dari 16-19 tahun. Usia SMA untuk orang Italia.

Kegiatan ini bertujuan untuk membentuk mental mereka memasuki masa dewasa. Saya beruntung diikutsertakan sebagai salah seorang tim formator (pemberi materi).

Kami berkunjung ke rumah penampungan penderita HIV/AIDS ini. Rumah yan bernama โ€œIl Focolareโ€ ini menampung sekitar 20-an orang. Mereka terdiri atas para penderita dan para pendamping. Semuanya orang-orang dewasa. Tinggal bersama di rumah dua lantai ini. Masing-masing di kamar sendiri.

Rumah Penampungan dan Perawatn Il Focolare tampak dari depan
Rumah Penampungan dan Perawatn Il Focolare tampak dari depan
Hari pertama, perasaan yang muncul adalah kaget dan takut. Selain perasaan, muncul juga pikiran aneh seperti ini. Bagaimana kalau saya terjangkiti? Apakah saya bisa berjabatan tangan dengan mereka? Apakah saya bisa cipiki-cipika dengan mereka? Apakah saya bisa bebricara dengan mereka?

Rupanya pertanyaan ini tinggal di otak saja. Hari pertama berlalu dengan baik. Para pendamping dan relawan di rumah ini sepertinya tahu kalau kami punya perasaan seperti ini. Mereka tidak membiarkan kami masuk secara langsung dalam dunia para penderita ini. Mereka justru memberi bekal bagi kami. Menjelaskan asal-usul rumah ini. Visi dan misinya. Lalu, yang penting adalah apa yang bisa kami lakukan di sini dan bagaimana kami melakukannya.

Dari penejelasan ini, kami merasa punya bekal yang cukup. Bekal yang memampukan kami untuk berkontak langsung dengan mereka. Saat pamitan pada hari pertama itu, kami tidak segan-segan berjabatan tangan dengan penderita yang kebetulan sedang nongkrong di halaman luar rumah.

Hari kedua, kami mulai berperan langsung. Saat tiba, kami bersalaman dengan mereka. Lalu, kami mulai mengerjakan beberapa pekerjaan. Mulai dari membersihkan kamar dan kloset, halaman rumah, taman bunga, dan sebagainya. Dua orang dari kami berempat juga diikutsertakan dalam kunjungan ke luar. Mereka punya kesempatan untuk bepergian ke kota atau ke rumah sakit.

Rumah ini memang terletak di bukit, agak jauh dari pusat kota Ancona, Italia Tengah. Dari kota Ancona, masuk lagi ke kota yang lebih kecil lagi bernama Camerano. Dari kota ini, agak ke kampung lagi, sekitar 4 kilometer. Letaknya strategis. Jauh dari keramaian. Cocok untuk menikmati suasana tenang. Hanya bunyi burung-burung di musim panas yang bisa didengar. Juga deru mesin dari tukang batu atau juga deru mobil proyek yang sedang memperbaiki jalan atau juga deru mesin pemotong rumput.

Selain bekerja, kami juga mendengar secara langsung kisah mereka. Mereka datang dari berbagai tempat di Italia dan bahkan ada yang dari luar negeri. Membawa sejuta cerita dan sejarah masa lalu mereka. Ada yang buram dan hitam, ada yang putih dan bening. Ada yang sudah bisa senang dan ada pula yang terus terpendam dalam depresi berlebihan.

Di rumah ini, semuanya diterima dengan tangan terbuka dan dengan hati gembira. Anna Maria, seorang pemimpin di sini, mengatakan, kami menerima mereka yang memang dikucilkan dalam masyarakat. Sebelum menerima, kami mengklarifikasi dulu data-datanya.

Klarifikasi ini penting karena rumah ini juga di bawah pengawasan pemerintah Italia. Tidak bisa membangun rumah penampungan untuk penderita AIDS tanpa sepengetahuan pemerintah daerah. Ini berlaku di seluruh Italia. Dalam hal ini, rumah ini memang seperti rumah sakit.

Klarifikasi ini juga sekaligus mempererat kerja sama antara rumah ini dengan pemerintah. Ini terkait dengan biaya pengobatan dan perawatan yang tinggi. Anna Maria lebih lanjut mengatakan, sekitar 60% biaya operasional rumah ini berasal dari pemerintah. Selebihnya dari penderma.Ini berarti kehidupan rumah ini bergantung sepenuhnya dari pemerintah. Dan, pemerintah juga kiranya mendukung penuh karya dari rumah ini.

Anna Maria berkaus hijau paling kiri, dan Sara, di sebelah kanan ada Sabatino yang bertongkat dan Massimo sedang duduk
Anna Maria berkaus hijau paling kiri, dan Sara, di sebelah kanan ada Sabatino yang bertongkat dan Massimo sedang duduk
Di rumah ini memang penderita didampingi dan dirawat. Ada relawan yang hampir semuanya adalah para psikolog. Mereka menawarkan bantuan konseling secara cuma-cuma. Ini terkait dengan sejarah kehidupan dari beberapa orang yang penuh dengan trauma dan terisolasi dari masyarakat. Sedangkan untuk perawatan, selalu ada kerja sama dengan pihak rumah sakit. Cukup membawa surat keterangan ke rumah sakit, obat pun bisa diambil.

Rupanya pendampingan terhadap penderita HIV/AIDS memang tidak mudah. Tidak cukup menyandang titel sarjana atau master psikologi atau juga titel dokter umum. Mesti ada kemampuan yang lebih seperti kemauan untuk mengabdi, kepekaan untuk mendekatkan diri dengan penderita dan sebagainya.

Seorang relawan, Sara, yang bergelar master psikologi, mengatakan saya pada awalnya tidak tertarik datang ke sini. Tetapi, rencana Tuhan berkata lain. Saya datang sebagai pengunjung. Kemudian, jatuh cinta dengan rumah ini. Saking kuatnya cinta itu, saya membuat penelitian terkait dengan psikologi di rumah ini. Jadilah saya mendapat gelar master dan kemudian saya mengabdi sebagai relawan di rumah ini. Dan sekarang memasuki tahun ke-9.

Sara, seperti relawan lainnya, memiliki kemampuan yang lebih seperti ini sehingga bisa mengabdi di sini. Ada yang datang sebagai tukang masak, tukang cuci, tukang kebun, dan sebagainya. Tetapi, mereka ini punya pengetahuan dasar terkait dengan psikologi.

Setelah bergaul dengan mereka dan mendengar cerita mereka, saya pun menemukan beberapa kejelasan tentang penyakit ini. HIV atau Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang menghancurkan antibodi. Setelah antibodi lemah muncullah penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Jadi, HIV adalah virus dan AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV.

Sabatino sedang berbincang-bincang dengan anak didik kami
Sabatino sedang berbincang-bincang dengan anak didik kami
Penyakit ini tidak langsung dideteksi dalam tubuh. Ada yang gejalanya muncul setelah 10-15 tahun setelah terserang virus. Tentu saja ada yang cepat dari situ. Cara jangkitnya memang sederhana. Umumnya dalam 3ย hal ini: melalui darah(percampuran darah antara 2 orang), hubungan seksual (pertemuan sperma dan sel telur) dan air susu ibu.

Dengan ini, hilanglah anggapan bahwa penyakit ini jangkit dengan cara makan bersama mereka, atau berjabatan tangan dengan mereka. Dua kali kami makan dengan mereka tanpa rasa takut. Kami tahu, penyakit ini tidak jangkit melalui alat makan yang kami gunakan.

Penyakit AIDS ini kadang membuat penderitanya mau mati. Boleh jadi karena terlalu sakit. Seorang penderita yang kami kunjungi di rumah sakit, Giuseppe, berkali-kali mencoba bunuh diri termasuk dengan mengonsumsi racun berlebihan. Sayangnya, dia tidak mati. Dia malah dioperasi.

โ€œIni yang ketiga kalinya dia dioperasi di rumah sakit iniโ€, jelas Anna Maria saat kami mengunjungi Giuseppe di Rumah Sakit Umum kota Ancona.

Penderita lain, Franco, juga ingin cepat mati seperti Giuseppe. Tetapi, Franco cepat sadar, umurnya masih muda untuk ukuran orang Italia, 60-an tahun. Dia tidak mungkin mati dalam waktu cepat. Dia sadar juga, dengan penyakit ini, dia tidak bertahan lama, tinggal menunggu waktu. Tetapi apa yang dia buat?

โ€œSaya memberikan tenaga saya untuk mengerjakan yang bisa saya kerjakan. Uang tidak perlu lagi. Saya masih banyak tabungan. Keluarga saya bisa membiayai hidup mereka. Saya mengabdikan diri sebagai tukang terima telepon dan tukang terima tamu di beberapa lembaga sekitar sini. Saya bekerja tanpa meminta gaji, toh saya penderita AIDS,โ€ terang Franco yang terjangkit HIV saat transfusi darah beberapa tahun silam.

Franco memang sejak 3 tahun lalu bekerja seperti ini. Dua sampai tiga jam dia habiskan dalam pekerjaan ini. Kadang-kadang pagi, kadang sore. Setelahnya, dia kembali ke rumah penampungan ini.

Kehidupan mereka memang terbatas. Tidak bisa bergerak seenaknya. Ada yang hanya diberi batas tertentu untuk keluar dari rumah penampungan. Massimo dan Sabatino, dua penderita lainnya, harus keluar dengan kartu izin keluar rumah setiap kali berkunjung ke kota. Kadang-kadang mereka pergi sarapan di bar pada pagi hari. Mereka naik mobil tetapi dengan membawa kartu izin tadi. Sesekali polisi datang menceknya.

Barisan belakang, seorang anak didikan kami, Anna Maria, para pendertia HIV//AIDS, barisan depan tampak anak didikan kami
Barisan belakang, seorang anak didikan kami, Anna Maria, para pendertia HIV//AIDS, barisan depan tampak anak didikan kami
Kalau, penderita HIV/AIDS saja masih punya harapan hidup, mengapa kita yang sehat tidak bisa berharap? Mereka dengan keterbatasannya masih bisa membantu sesama, memberikan tenaganya secara total, maka kita yang masih sehat tanpa HIV/AIDS mestinya bisa menyumbangkan sebuah hal positif bagi sesama. Jadi, JANGAN TAKUT dengan PENDERITA HIV/AIDS.

Terima kasih untuk keluarga besar Rumah Penampungan Il Focolare untuk kegiatan seminggu ini. Singkat waktunya tetapi pengalamannya bertahan selama-lamanya. Terima kasih untuk teman-teman penderita HIV/AIDS yang mengajarkan banyak hal baik dalam kehidupan ini.

Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.

ANC, 7/8/2016

Gordi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun