Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita รจ bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Memaknai Hidup dari Penderita HIV/AIDS Ini

7 Agustus 2016   02:54 Diperbarui: 9 Agustus 2016   16:27 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Franco berkaus hijau di sebelah kiri bersama dua anak didikan kami, mengabdikan hidupnya menjadi relawan tukang terima telepon di beberapa kantor di sekitar kota Camerano, Ancona, Italia Tengah

Sabatino sedang berbincang-bincang dengan anak didik kami
Sabatino sedang berbincang-bincang dengan anak didik kami
Penyakit ini tidak langsung dideteksi dalam tubuh. Ada yang gejalanya muncul setelah 10-15 tahun setelah terserang virus. Tentu saja ada yang cepat dari situ. Cara jangkitnya memang sederhana. Umumnya dalam 3ย hal ini: melalui darah(percampuran darah antara 2 orang), hubungan seksual (pertemuan sperma dan sel telur) dan air susu ibu.

Dengan ini, hilanglah anggapan bahwa penyakit ini jangkit dengan cara makan bersama mereka, atau berjabatan tangan dengan mereka. Dua kali kami makan dengan mereka tanpa rasa takut. Kami tahu, penyakit ini tidak jangkit melalui alat makan yang kami gunakan.

Penyakit AIDS ini kadang membuat penderitanya mau mati. Boleh jadi karena terlalu sakit. Seorang penderita yang kami kunjungi di rumah sakit, Giuseppe, berkali-kali mencoba bunuh diri termasuk dengan mengonsumsi racun berlebihan. Sayangnya, dia tidak mati. Dia malah dioperasi.

โ€œIni yang ketiga kalinya dia dioperasi di rumah sakit iniโ€, jelas Anna Maria saat kami mengunjungi Giuseppe di Rumah Sakit Umum kota Ancona.

Penderita lain, Franco, juga ingin cepat mati seperti Giuseppe. Tetapi, Franco cepat sadar, umurnya masih muda untuk ukuran orang Italia, 60-an tahun. Dia tidak mungkin mati dalam waktu cepat. Dia sadar juga, dengan penyakit ini, dia tidak bertahan lama, tinggal menunggu waktu. Tetapi apa yang dia buat?

โ€œSaya memberikan tenaga saya untuk mengerjakan yang bisa saya kerjakan. Uang tidak perlu lagi. Saya masih banyak tabungan. Keluarga saya bisa membiayai hidup mereka. Saya mengabdikan diri sebagai tukang terima telepon dan tukang terima tamu di beberapa lembaga sekitar sini. Saya bekerja tanpa meminta gaji, toh saya penderita AIDS,โ€ terang Franco yang terjangkit HIV saat transfusi darah beberapa tahun silam.

Franco memang sejak 3 tahun lalu bekerja seperti ini. Dua sampai tiga jam dia habiskan dalam pekerjaan ini. Kadang-kadang pagi, kadang sore. Setelahnya, dia kembali ke rumah penampungan ini.

Kehidupan mereka memang terbatas. Tidak bisa bergerak seenaknya. Ada yang hanya diberi batas tertentu untuk keluar dari rumah penampungan. Massimo dan Sabatino, dua penderita lainnya, harus keluar dengan kartu izin keluar rumah setiap kali berkunjung ke kota. Kadang-kadang mereka pergi sarapan di bar pada pagi hari. Mereka naik mobil tetapi dengan membawa kartu izin tadi. Sesekali polisi datang menceknya.

Barisan belakang, seorang anak didikan kami, Anna Maria, para pendertia HIV//AIDS, barisan depan tampak anak didikan kami
Barisan belakang, seorang anak didikan kami, Anna Maria, para pendertia HIV//AIDS, barisan depan tampak anak didikan kami
Kalau, penderita HIV/AIDS saja masih punya harapan hidup, mengapa kita yang sehat tidak bisa berharap? Mereka dengan keterbatasannya masih bisa membantu sesama, memberikan tenaganya secara total, maka kita yang masih sehat tanpa HIV/AIDS mestinya bisa menyumbangkan sebuah hal positif bagi sesama. Jadi, JANGAN TAKUT dengan PENDERITA HIV/AIDS.

Terima kasih untuk keluarga besar Rumah Penampungan Il Focolare untuk kegiatan seminggu ini. Singkat waktunya tetapi pengalamannya bertahan selama-lamanya. Terima kasih untuk teman-teman penderita HIV/AIDS yang mengajarkan banyak hal baik dalam kehidupan ini.

Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun