Hari kedua, kami mulai berperan langsung. Saat tiba, kami bersalaman dengan mereka. Lalu, kami mulai mengerjakan beberapa pekerjaan. Mulai dari membersihkan kamar dan kloset, halaman rumah, taman bunga, dan sebagainya. Dua orang dari kami berempat juga diikutsertakan dalam kunjungan ke luar. Mereka punya kesempatan untuk bepergian ke kota atau ke rumah sakit.
Rumah ini memang terletak di bukit, agak jauh dari pusat kota Ancona, Italia Tengah. Dari kota Ancona, masuk lagi ke kota yang lebih kecil lagi bernama Camerano. Dari kota ini, agak ke kampung lagi, sekitar 4 kilometer. Letaknya strategis. Jauh dari keramaian. Cocok untuk menikmati suasana tenang. Hanya bunyi burung-burung di musim panas yang bisa didengar. Juga deru mesin dari tukang batu atau juga deru mobil proyek yang sedang memperbaiki jalan atau juga deru mesin pemotong rumput.
Selain bekerja, kami juga mendengar secara langsung kisah mereka. Mereka datang dari berbagai tempat di Italia dan bahkan ada yang dari luar negeri. Membawa sejuta cerita dan sejarah masa lalu mereka. Ada yang buram dan hitam, ada yang putih dan bening. Ada yang sudah bisa senang dan ada pula yang terus terpendam dalam depresi berlebihan.
Di rumah ini, semuanya diterima dengan tangan terbuka dan dengan hati gembira. Anna Maria, seorang pemimpin di sini, mengatakan, kami menerima mereka yang memang dikucilkan dalam masyarakat. Sebelum menerima, kami mengklarifikasi dulu data-datanya.
Klarifikasi ini penting karena rumah ini juga di bawah pengawasan pemerintah Italia. Tidak bisa membangun rumah penampungan untuk penderita AIDS tanpa sepengetahuan pemerintah daerah. Ini berlaku di seluruh Italia. Dalam hal ini, rumah ini memang seperti rumah sakit.
Klarifikasi ini juga sekaligus mempererat kerja sama antara rumah ini dengan pemerintah. Ini terkait dengan biaya pengobatan dan perawatan yang tinggi. Anna Maria lebih lanjut mengatakan, sekitar 60% biaya operasional rumah ini berasal dari pemerintah. Selebihnya dari penderma.Ini berarti kehidupan rumah ini bergantung sepenuhnya dari pemerintah. Dan, pemerintah juga kiranya mendukung penuh karya dari rumah ini.
Rupanya pendampingan terhadap penderita HIV/AIDS memang tidak mudah. Tidak cukup menyandang titel sarjana atau master psikologi atau juga titel dokter umum. Mesti ada kemampuan yang lebih seperti kemauan untuk mengabdi, kepekaan untuk mendekatkan diri dengan penderita dan sebagainya.
Seorang relawan, Sara, yang bergelar master psikologi, mengatakan saya pada awalnya tidak tertarik datang ke sini. Tetapi, rencana Tuhan berkata lain. Saya datang sebagai pengunjung. Kemudian, jatuh cinta dengan rumah ini. Saking kuatnya cinta itu, saya membuat penelitian terkait dengan psikologi di rumah ini. Jadilah saya mendapat gelar master dan kemudian saya mengabdi sebagai relawan di rumah ini. Dan sekarang memasuki tahun ke-9.
Sara, seperti relawan lainnya, memiliki kemampuan yang lebih seperti ini sehingga bisa mengabdi di sini. Ada yang datang sebagai tukang masak, tukang cuci, tukang kebun, dan sebagainya. Tetapi, mereka ini punya pengetahuan dasar terkait dengan psikologi.
Setelah bergaul dengan mereka dan mendengar cerita mereka, saya pun menemukan beberapa kejelasan tentang penyakit ini. HIV atau Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang menghancurkan antibodi. Setelah antibodi lemah muncullah penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Jadi, HIV adalah virus dan AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV.