Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sensasi Malam Pertama di Gunung dan Danau Molveno (5)

7 Juli 2016   12:04 Diperbarui: 7 Juli 2016   19:52 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam pertama selalu menjadi sejarah tersendiri dalam hidup. Seperti hari pertama dalam kerja, malam pertama juga selalu akan dikenang.

Hari pertama masuk sekolah atau universitas menjadi bahan kenangan yang akan selalu diceritakan. Demikian juga dengan malam pertama untuk pasangan muda akan menjadi kenangan tersendiri. Tak jarang, agar kenangan ini menjadi indah, pasangan pun berusaha mengisi malam ini dengan hal yang indah mungkin.

Malam pertama di Gunung dan Danau Molveno ini juga menjadi kenangan indah tersendiri bagi saya. Saya mencoba untuk tidak menyiapkan sesuatu yang khusus atau mengisi dengan yang indah di malam pertama ini. Hanya ingin melewatinya dengan sensasi alami.

Malam pertama pun menjadi bahan permenungan saat saya bangun di pagi hari. Betapa tidak menakjubkan, saat bangun, saya disuguhkan pemandangan indah. Jendela bagian luar yang saya biarkan terbuka kemarin mengizinkan cahaya pantulan dari luar masuk. Kamar saya pun menjadi terang. Mata saya terbuka lalu bangkit dari tempat tidur dan segera melihat apa yang terjadi di luar.

Betapa indahnya alam. Demikian kalimat yang muncul spontan. Gunung-gunung memancarkan wajah cerahnya. Di beberapa bagian puncaknya masih ada selimut awan putih. Juga ada bekas salju yang membeku meski musim panas sekali pun. Perpaduan antara warna awan dan bekas salju dengan warna puncak bebatuan hitam keabu-abuan itu menjadi indah. Kontras yang memancarkan keindahan.

Melihat ke atas lagi, ada langit biru. Gunung-gunung dan deretan puncak itu memang menjadi indah jika di belakangnya ada awan biru. Awan biru menyimbolkan cerahnya alam. Membuka cakrawala pandangan manusia yang melihatnya.

memandang ke salah satu sisi danau Molveno ini
memandang ke salah satu sisi danau Molveno ini
Yang lebih dekat lagi di depan mata adalah deru danau Molveno. Meski tak berombak, ada-ada saja suara yang menyingkap sisi indahnya danau Molveno. Tentu yang sering terdengar adalah bunyi kendaraan. Di belakang kamar saya ada jalan besar yang dilalui kendaraan 24 jam. Mobil dan motor serta sepeda yang berjalan dalam silentium. Demikian juga dengan bunyi kendaraan pengunjung hotel yang letaknya di depan rumah kami ini.

Bunyi-bunyi inilah yang meredam riaknya gelombang kecil danau Molveno ini. Hanya satu dua kali saja terdengar bunyi speed boat dari penduduk lokal yang menyeberang danau. Juga bunyi sampan tradisional nan unik yang sekadar ingin menikmati udara pagi di danau ini.

Pemandangan ini memang berbeda kala saya jalan-jalan di pagi hari, pukul 06.00, sambil membaca buku di pinggir danau ini. Dua tahun belakangan, inilah yang saya buat kala berlibur di danau ini. Tapi, hari ini saya memutuskan untuk menikmatinya secara alami. Tak perlu membaca buku. Cukup menikmati alam yang begitu besar ini.

dari jendela inilah saya melihat ketakjuban itu
dari jendela inilah saya melihat ketakjuban itu
Saya pun paham, di balik takjubnya pemandangan antara danau dan pegunungan ini, ada tangan Pencipta di belakangnya. Hal pertama yang saya buat adalah mensyukurinya. Sungguh bukan hal pertama bagi saya memandang ketakjuban alam seperti ini. Di Indonesia, saya menjumpainya banyak dan sering kali. Tetapi, sayangnya sebanyak dan sesering itu juga saya mengabaikan Pencipta ketakjuban ini. Maka, hal pertama yang saya buat setelah melewati malam pertama ini adalah mengucap terima kasih pada-Nya.

Ucapan terima kasih ini tak berhenti di sini. Ucapan ini saya bawa juga saat mengikuti Misa pagi bersama seorang pastor dan ketiga sahabat saya. Di kapel rumah ini, kami memanjatkan doa dan terima kasih itu pada Dia yang menciptakan ketakjuban ini. Ini adalah misa kedua bagi saya setelah kemarin malam, sebelum makan, kami merayakannya.

saat gunung-gunung berselimutkan awan putih dan salju
saat gunung-gunung berselimutkan awan putih dan salju
Pencipta memberi ketakjuban ini pada kami melalui mereka yang membantu merealisasikan rumah ini. Kata pastor itu, rumah ini adalah rumah yang dibangun dan dibangun terus. Maksudnya, rumah ini tidak dibangun sekali saja. Rumah ini tepatnya sudah, sedang, dan terus dibangun. Banyak orang yang membantu dengan tenaganya, langsung dan tak langsung, dalam pembangunan rumah ini. Katanya, saat dia masih muda, rumah ini tak menggunakan lift, sekarang sudah ada. Dulu, tangga rumah ini berupa papan saja, sekarang tangga bertembok.

Boleh jadi ke depannya, rumah ini akan lebih modern lagi. Kemungkinan itu selalu ada. Maka, kami bersyukur pada Dia karena selalu memberi yang kami butuhkan. Terima kasih untuk mereka yang mau membantu membuatkan yang terindah untuk rumah ini.

di seberang danau ada hotel, antara celah-celah daun dari sebelah sini
di seberang danau ada hotel, antara celah-celah daun dari sebelah sini
Saya memang melihat rumah ini bagus sekali sejak saya tiba kemarin. Rasa-rasanya tak pernah bosan melihatnya untuk ke sekian kalinya. Rasa ini juga muncul saat saya masuk kamar semalam. Saya hanya menyiapkan satu tempat tidur untuk saya. Tiga lainnya masih tertutup dan belum dipasang kain sprei. Di atasnya masih ada onggokan selimut musim dingin.

Kamar paling atas ini memang unik. Satu-satunya kamar teratas di rumah ini. Saya memilihnya hanya karena ingin melihat pemandangan berbeda dari kamar lainnya yang terletak di bawahnya. Saya beruntung bisa datang lebih dulu untuk menyiapkan rumah ini. Kami bertiga bisa memilih sesuai keinginan kami. Dua sahabat saya lainnya memilih di lantai 3. Saya pilih yang ini.

Tak ada yang special yang terjadi sebelum tidur semalam. Pekerjaan setengah hari plus perjalanan 3 jam kemarin memang cukup menjadi alasan untuk langsung tidur nyenyak semalam. Hanya membuat tanda palang di dahi untuk berpamitan dengan-Nya setelahnya selamat malam dan selamat tidur.

meski masih pagi, rumah-rumah penduduk sudah diterangi sinar mentari
meski masih pagi, rumah-rumah penduduk sudah diterangi sinar mentari
Terbangun sebelum jam bangun karena terasa dingin di jari-jari dan telapak kaki. Rupanya selimut yang saya gunakan tidak menutup kaki. Beda dengan di Parma yang saat ini mulai hangat, di sini masih dingin. Maka, sentuhan dingin itu membangukan saya. Tak apa-apa. Kesempatan untuk buang air sebentar. Setelahnya tidur lagi.

Satu jam terakhir menjelang jam bangun, saya menyalakan radio FM. Ada siaran berbahasa Jerman. Kaget dan pingin mendengarnya dari dekat. Tapi, rasa malas masih menang. Diam terus di tempat tidur sambil menikmati lagu-lagu dan siarannya. Tentu saja tak mengerti semuanya. Tetapi rasa ingin menikmatinya saja cukup membuat saya ingin terus mendengarnya. Penghuni daerah ini memang tak hanya mereka yang berbahasa Italia. Ada juga yang berbahasa Jerman.

ombak kecil sekadar beriak saja
ombak kecil sekadar beriak saja
Inilah sensasi malam pertama di Molveno ini. Sungguh indah untuk dikenang. Kelak, malam-malam selanjutnya tidak seperti malam ini lagi. Mungkin tidak ada lagi keheningan. Mungkin ada yang mengisi tempat tidur yang kosong di sekitar saya. Mungkin dan mungkin dengan segala kemungkinan lainnya. Tetapi, yang tak mungkin adalah melupakan sensai malam pertama ini.

Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.

Tulisan terkait dari urutan terakhir:

 

MLV, 7/7/2016

Gordi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun