Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita รจ bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pak Tjipta, Petualang yang Gemar Menulis

19 Mei 2016   02:47 Diperbarui: 19 Mei 2016   03:16 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Tjipta dan Ibu Rose dalam acara makan bersama para sahabat, FOTO: kompasiana Pak Tjipta

Petualang adalah orang yang suka tantangan. Baginya, tidak ada batasan. Yang adalah hal-hal di balik batasan. Itulah sebabnya, seorang petualang tidak pernah melihat tujuan akhir (sampai di mana saya bisa berjalan) tetapi terus menggemakan kewajiban (saya harus terus berjalan).

Petualang kiranya pantas disematkan pada pribadi Pak Tjipta. Umurnya 73 tahun. Boleh jadi akan bertambah dalam beberapa tahun ke depan. Uniknya, sampai saat ini pun, dia terus menulis. Menulis dalam usia seperti ini memang menjadi hal langka bagi warga Indonesia. Kecuali mereka yang punya kemampuan dan hobi menulis seperti penulis dan wartawan yang bisa menelurkan tulisan sampai seusia itu. Yang lainnya, kita agak sulit menemukan orang yang menulis dalam usia seperti itu. Dengan demikian, Pak Tjipta adalah petualang yang suka menulis. Dia sudah menulis banyak buku dan juga artikel di blog kompasiana ini.

Saya mengenal Pak Tjipta dari tulisan-tulisannya di kompasiana. Beberapa tahun lalu, saya mulai membaca tulisannya. Ada perasaan tersendiri ketika membaca ulasannya. Tulisannya memang membuat pembaca tersentuh. Lebih dari isi tulisan, hal yang paling membekas dari Pak Tjipta adalah caranya dalam membalas komentar. Saya tak segan mengatakan bahwa Pak Tjipta adalah penulis yang setia membalas komentar teman-teman kompasianer lainnya yang singgah di tulisannya. Saya tidak saja membaca tulisannya tetapi juga memberikan nilai sesuai perangkat yang tersedia di blog kompasiana. Saya juga memberikan komentar. Ini yang menarik. Komentar ini menjadi bahan untuk melanjutkan komunikasi. Komentar ini tentu saja dibaca oleh Pak Tjipta lalu dijadikan sebagai bahan untuk berkomentar lagi. Dengan kata lain, komentar itu tidak dibaca lalu didiamkan begitu saja. Pak Tjipta akan membalas komentar itu dengan sapaannya yang khas.

Tentang membalas komentar ini, saya punya pengalaman menarik beberapa tahun lalu, kira-kira tahun 2012 atau 2013. Saat itu, saya gemar menulis di kompasiana. Pak Tjipta sesekali singgah di tulisan saya dan meninggalkan jejak berupa komentar di sana. Karena sibuk dengan kegiatan kuliah, saya kadang-kadang menunggu beberapa hari baru membalas komentar itu. Saya memang tidak membuka kompasiana setiap hari. Dengan demikian saya tidak menulis setiap hari. Dan, suatu kali saya membalas komentar Pak Tjipta di tulisan saya. Saya pertama-tama memohon maaf karena baru balas komentar itu. Pak Tjipta menjawab tidak apa-apa. Lalu, dia sambung dengan menanyakan kabar saya. Saya membalas, saya baik-baik saja hanya sedang tidak rajin menulis di kompasiana karena sibuk kuliah di tahun terakhir. Komentar Pak Tjipta sungguh bagus saat itu. Katanya, ya kita memang punya waktu untuk menulis tetapi tidak berarti bisa menulis setiap hari. Kita menulis saat ada kesempatan. Kita mempunyai banyak tugas lainnya yang dikerjakan. Tidak seperti saya yang sedang pensiun ini.

Bagi saya, komentar ini amat bagus. Pak Tjipta tidak saja membaca lalu membiarkan komentar saya tetapi membacanya dengan cermat dan memberi tanggapan yang pas. Dari situ, saya tahu kalau Pak Tjipta sudah pensiun sehingga punya banyak waktu untuk menulis ketimbang saya yang menulis di waktu senggang. Pak Tjipta tentu bukan saja banyak waktu tetapi banyak pengalaman. Bisa saja pengalaman ini menjadi bahan tulisan. Tetapi juga terutama pengalaman menulis buku. Dari menulis buku ke menulis di blog kompasiana tentu saja tidak seberat seperti penulis pemula seperti saya. Paling tidak, penulis buku sudah punya gambaran bagaimana menulis. Kiranya ini juga yang membuat tulisan Pak Tjipta di kompasiana menjadi menarik dan berisi.

Tulisan Pak Tjipta memang bukan tulisan biasa. Kalau boleh dibilang, tulisannya luar biasa. Meski luar biasa, tulisan Pak Tjipta justru muncul dari hal-hal biasa. Pak Tjipta dalam tulisannya membahas seputar kehidupan sehari-hari, pengalaman kebijaksanaan dalam hidup, pengalaman perjalanan, dan pengalaman hidup di tanah rantau.Sampai sekarang, saya menemukan banyak tulisan Pak Tjipta yang membahas keempat tema ini. Entah ada yang luput dari keempat tema ini. Boleh jadi. Tetapi, saya merangkumnya dalam keempat tema ini. Saya tidak membatasi dalam keempat tema ini. Kebetulan saja, tulisan yang saya baca termasuk dalam keempat tema ini sehingga bagi saya cukup merangkumnya dalam empat tema. Pak Tjipta tentu tahu dengan jelas tentang tema tulisannya.

Kehidupan sehari-hari memang menjadi hal bermakna bagi Pak Tjipta. Makna itu pula yang dia bagikan lewat tulisannya. Ketika kita membaca tulisannya, kita mungkin berkomentar, ah ini hal biasa kok. Tetapi, menjelang paragraf terakhir, Anda akan menemukan betapa kehidupan sehari-hari itu bermakna. Pak Tjipta adalah orang yang jeli menemukan makna tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari. Jangan heran jika pengalaman bertemu sahabat atau bercerita dengan anak-anak dan cucunya pun menjadi sesuatu yang bermakna untuk dibagikan. Bercerita dengan anak-cucu bagi sebagian orang menjadi hal biasa. Toh sudah jadi hal lumrah. Tidak ada yang baru. Sudah selayaknya demikian. Tetapi tidak demikian bagi pak Tjipta. Pak Tjipta kiranya melihat kedalaman relasi dalam cerita sederhana itu.

Cerita sederhana seperti inilah yang kadang-kadang luput dari perhatian banyak orang. Dalam cerita harian seperti ini, ada banyak perasaan, reaksi, tanggapan yang muncul. Bisa saja marah, senang, sedih, gusar, bangga, angkuh, dan berbagai perasaan lainnya. Pak Tjipta adalah orang yang jeli melihat perasaan seperti ini. Perasaan itu pun diolahnya menjadi sebuah tulisan yang menarik. Tulisan itu pun berisi kebijaksanaan dalam hidup. Dan memang kebijaksanaan hidup bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.Kebijaksanaan itu tidak ditemukan saat membaca buku atau tulisan yang adalah benda mati. Kebijaksaan hidup adalah kehidupan itu sendiri. Kebijaksaan itu nyata dalam pengalaman hidup harian. Kebijaksaan itu bukan hal yang abstrak tetapi hal nyata dalam relasi kita dengan orang lain.

Dengan kerangka kebijaksaan ini, Pak Tjipta bisa menghasilkan tulisan yang mengubah perasaan. Tema-tema seperti mengubah kebencian menjadi cinta,mengelola perasaan marah, dan tema sejenisnya menjadi ulasan Pak Tjipta. Judul-judul seperti ini memang boleh jadi tidak sama persis dengan judul tulisan Pak Tjipta. Tetapi, saya menangkap ada tema seperti ini dalam berbagai tulisan Pak Tjipta yang saya baca. Ulasan seperti ini adalah bagian dari kebijaksaan hidup. Kebijaksanaan yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Pak Tjipta dan Ibu Rose dalam acara makan bersama para sahabat, FOTO: kompasiana Pak Tjipta
Pak Tjipta dan Ibu Rose dalam acara makan bersama para sahabat, FOTO: kompasiana Pak Tjipta
Kehidupan Pak Tjipta sendiri adalah sebuah perjalanan. Dari Padang ke Jakarta, juga ke berbagai tujuan di negeri ini. Berbagai kota pun dia singgahi. Bahkan, dari Indonesia yang beragam ini, di masa tuanya, Pak Tjipta juga melangkah lebih jauh menjangkau tanah asing. Australia adalah tempat berlabuhnya saat ini. Masih banyak negara lainnya yang menjadi persinggahan singkatnya bersama sang istri, Ibu Roselina. Sebut saja Cina, Malaysia, Timur Tengah, berbagai negara di Eropa termasuk Italia. Dari sini, bolehlah saya menyebut Pak Tjipta sebagai perantau ulung.

Kata ini (perantau) tertanam kuat dalam benak orang-orang Indonesia. Bukan orang Indonesia kalau tidak bisa memahami dan mengenal kata perantau. Banyak orang Indonesia menjadi perantau entah di Indonesia atau di luar negeri. Sebut saja orang Padang merantau ke Jakarta. Orang Flores merantau ke Jayapura. Orang Medan merantau ke Kupang. Orang Ambon merantau ke Surabaya. Orang Jawa merantau ke Riau. Orang Menado merantau ke Malang. Ini hanya beberapa contoh. Contoh lainnya juga orang Indonesia merantau ke Jepang, Amerika Serikat, Prancis, Italia, dan sebagainya. Pak Tjipta adalah satu dari sekian perantau ulung ini.

Perantau seperti ini adalah orang yang punya jiwa petualang dan pribadi yang tangguh. Hati, pikiran, dan fisik mereka teruji. Jika Anda berhasil tiba, bekerja, dan hidup di perantau, Anda adalah orang yang kuat. Anda adalah orang yang berhasil melampaui ketidakmampuan Anda sendiri. Bayangkan mengarungi lautan dan samudera. Ketakutan dan ketidakmampuan menghadang. Badai masa depan terus menerjang. Seolah-olah masa depan itu tidak ada. Seolah-olah laut itu terlalu besar dan samudera itu terlalu dalam untuk dilalui. Seolah-olah terbang di udara itu hal yang mustahil. Tetapi begitu Anda berhasil melampauinya, Anda adalah orang berhasil. Anda melewati langkah pertama yang berat dalam perkembangan hidup Anda.

Sebagai perantau, Pak Tjipta tentu punya banyak pengalaman. Terbang dari satu tempat ke tempat lainnya adalah sesuatu yang luar biasa. Atau juga berpindah tempat tinggal dari satu pulau ke pulau lainnya adalah hal yang indah. Ini tentu saja perpindahan yang tidak mudah. Akan banyak kesulitan yang dihadapi. Justru dalam kesulitan inilah, keindahan hidup itu muncul.

Pak Tjipta, sudah makan garam dalam hal ini. Dan tentu saja untuk mencapai hal seperti ini, Pak Tjipta sudah melakukan banyak perjalanan. Maka, sebagai perantau yang sering berjalanโ€”terutama di masa tuanya iniโ€”saya menyebut Pak Tjipta lebih dari sekadar perantau. Pak Tjipta justru cocok sebagai petualang. Perantau boleh dan bisa saja berhenti di suatu tempat jika ia merasa nyaman dan kehidupannya terjamin. Sedangkan, petualang adalah dia yang tidak pernah berhenti di suatu tempat. Petualang adalah dia yang terus berjalan.

Saya mengenal Pak Tjipta sebagai petualang ketika tahun lalu, dia mengatakan kepada saya bahwa dia akan berkunjung ke Italia. Dan memang, rencana itu sudah jadi nyata. Pak Tjipta datang dan mengunjungi beberapa kota di Italia. Saat itu, kami berjanji kalau bisa akan bertemu. Saya pun senang mendengarnya. Ini bentuk persahabatan yang bagus. Tidak berhenti di dunia maya tetapi berlanjut ke dunia nyata. Namun, sayang sekali waktu itu, kami tidak bertemu. Kebetulan saat Pak Tjipta di Italia, saya sedang mengikuti sebuah kegiatan yang tidak bisa saya tinggalkan. Saya berada di kota Bologna selama sebulan penuh. Dan persis pada bulan-bulan itu Pak Tjipta ada di Italia. Saya memang menyesal tetapi saya tetap berterima kasih karena saya bisa mengikuti petualangannya lewat tulisan yang ia bagikan di kompasiana. Pengalaman perjalanan itu dia bagikan di kompasiana. Saya puas membacanya.

Sebagai perantau, saya ingin membaca tulisan seperti ini. Pak Tjipta tidak segan-segan membagikan pengalamannya sebagai perantau. Dia akan mengabarkan kepada para kompasianer tentang kehidupannya di Australia. Tentang suka-duka warga di sana, tentang perkembangan kehidupan sosial dan ekonomi, bahkan politik dan sebagainya. Tulisan Pak Tjipta pun menyentuh sisi yang penting dari kehidupan para perantau. Misalnya bagaimana mendapatkan pekerjaan di Australia, bagaimana sopan santun orang Australia, bagaimana orang Australia memandang masa lalunya. Katanya dalam sebuah tulisan, orang Australia membutuhkan satu abad untuk meminta maaf.

Bukan hanya itu, Pak Tjipta juga mengabarkan tentang kiprah orang Indonesia yang berhasil secara ekonomi di Australia. Dari pengusaha warung kecil ke restoran besar. Tentang mahasiswa yang kuliah sambil bekerja membersihkan mobil. Sungguh pengalaman perantau yang memaknai hidupnya sebagai sebuah anugerah. Perantau kiranya tahu bersyukut atas anugerah hidup yang ia terima dalam perantauannya. Banyak orang yang membantunya. Banyak pertemuan yang dibuatnya. Banyak orang dijumpainya.

Inilah dunia perantau. Dunia yang menantang sekaligus indah untuk diselami. Di perantauanlah, kita belajar untuk melihat perbedaan yang indah di dunia ini. Perbedaan yang bukan membeda-bedakan tetapi menjadi kekayaan. Dengan demikian, perbedaan itu membantu kita untuk terus menerus memelihara keindahan hidup ini. Pak Tjipta, dari Australia juga membagikan pengalaman hidup di dunia perenta seperti ini. Dia pernah membagikan beberapa tulisan tentang budaya di Australia. Budaya yang muncul antara orang asli Australia dan juga budaya yang lahir dari komunitas para perantau. Misalnya bagaimana budaya Australia membentuk model pendidikan yang dikembangkan saat ini. Sungguh saya berterima kasih kepada Pak Tjipta untuk semua yang dia bagikan di kompasiana ini.

Mengakhiri tulisan ini, saya mengucapkan SELAMAT ULANG TAHUN kepada Pak Tjipta di usianya yang ke 73 pada 21 Mei nanti.

PRM, 18/5/2016

Gordi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun