Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita รจ bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Keberanian dengan Mendaki Gunung

10 Februari 2016   05:53 Diperbarui: 10 Februari 2016   13:56 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari pos pertama, jalanan masih luas. Berukuran 2 mobil kecil. Kami sengaja tidak memakai jasa mobil ini karena mau merasakan tanjakan ini. Kami melewatinya dengan irama santai. Tidak tergesa-gesa. Setelah 2,5 jam, kami tiba di pos kedua. Dengan napas terengah-engah, kami tiba di tempat strategis di samping pos. Kami pun memilih untuk duduk di beranda. Para pendaki lain memesan makanan dan minuman. Sedangkan kami tinggal menikmati makanan yang sudah disiapkan. Kami menghabiskan 20 menit di sini.

Perjalanan dari pos kedua ini rupanya makin menantang. Jalur ini hanyalah jalan setapak, tidak ada lagi mobil yang bisa lewat. Saya melihat gunung tinggi dari dekat. Rasa-rasanya ada di belakang kepala. Melihatnya pun harus mendongak karena puncaknya tinggi sekali. Meski rasanya dekat, puncaknya masih jauh. Kami harus melewati jalanan berputar untuk sampai ke sana. Jalanan berputar sesuai arah yang sudah ditentukan oleh para pendahulu. Di sinilah keberanian itu rupanya diuji. Kalau tidak kuat, rasa-rasanya harus berhenti di pos kedua ini. Saya pun merasakan hal itu. Tetapi, saya berpikir lagi. Sudah sampai pos kedua kok mosok pulang lagi. Targetnya sampai pos ketiga, minimal.

ย [caption caption="istirahat di pos 3"]

[/caption]

Dengan modal mencapai target ini, keberanian saya makin besar. Mulailah pendakian melewati tebing pasir. Di sini, pendaki harus berjalan satu-satu. Bahkan, tunggu lewat sampai di ujung tebing baru bisa diikuti pendaki berikutnya. Saya melihat sepatu saya sambil membayangkan seandainya jatuh. Paling-paling jatuhnya di tebing dan pasti terguling sampai di kaki gunung. Untunglah dengan modal hati-hati dan belajar dari petunjuk yang tertera, saya bisa melewati tantangan pertama ini.

Tantangan ini jadi pintu ke langkah berikutnya. Jika di sini berhasil, Anda punya modal kuat untuk tantangan berikutnya. Berikutnya adalah berjalan di tebing batu. Sebagai pijakan kaki, ada anak tangga yang sudah dipasang. Sedangkan tangan harus setia di tali besi yang menempel di dinding tebing. Dengan dua benda ini, pendakian pun berlanjut. Setelah melewati tebing batu ini, kami masih melewati tebing pepohonan rindang. Di sinilah tempat untuk membuang semua keringat dari pendakian sebelumnya. Rasanya sejuk, tidak ada matahari, dihadang oleh berbagai jenis daun. Hanya ada suara burung dan gemericik air pegunungan serta gaungan suara pendaki berteriak dari balik tebing.

ย [caption caption="restoran berlantai 2"]

[/caption]

Dari sini sampai pos ketiga kebanyakan jalanan miring dan tidak mendaki seperti sebelumnya. Ingin lama-lama di sini, tetapi jaraknya jauh sehingga mau tak mau harus jalan terus. Setelah jalan setapak yang sejuk ini, sampailah kami di pos ketiga. Di sini ada restoran besar. Sebelum kami, sudah banyak pendaki yang tiba di sini. Mereka menikmati peristirahatan di sini. Ada yang baring-baring di ayunan, di kursi, dan sebagainya. Ada pula anak kecil yang bermain. Dia senang berada di tempat ini. Orang tuanya juga senang karena sudah melewati pendakian tebing batu yang curam tadi. Kami juga menghabiskan waktu istirahat ini dengan berfoto-foto dan menghabiskan biskuit tadi. Setelah beristirahat selama hampir satu jam, kami pulang.

Jalanan turun tidak terlalu capek. Hanya saja, lutut terasa gemetar dan harus bekerja keras. Beban yang mesti ditahan besar. Bayangkan lutut harus menahan badan pas di tempat turunan curam dan tikungan tajam. Untunglah selalu ada tali sebagai pembantu tangan agar tidak jatuh. Dengan lutut gemetar dan bantuan tali, saya pun berhasil menjaga kondisi badan agar tetap kuat.

[caption caption="jalanan turun dengan lutut gemetar"]

[/caption]ย 

Selain rasa gemetar, jalanan turunan ini rupanya membutuhkan keberanian juga. Beberapa kali, saya merasa kurang yakin dengan pijakan sepatu di jalan setapak yang disediakan. Dengan gemetar, saya mencoba mengubah haluan pijakan, mencari yang pas dan bisa diandalkan. Kadang-kadang ada bagian yang licin juga. Untunglah tangan tertancap di tali pegangan. Jadinya hanya gantung saja sambil mencari pijakan kaki yang pas.

ย [caption caption="pos terakhir di jalur pulang"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun