Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Berburu Dedaunan Kuning di Musim Gugur

22 Januari 2016   16:27 Diperbarui: 22 Januari 2016   16:40 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="berburu dedaunan kuning"][/caption]Untuk kita yang tinggal di daerah tropis, pergantian musim tidaklah begitu terasa. Hampir semua tahu, kapan musim hujan dan kapan musim kemarau. Semua juga tahu, kalau hujan, apa yang harus dibuat. Demikian saat kemarau, apa yang harus dibuat. Petani di ladang sudah siap dengan bibit padi sesaat sebelum musim hujan datang. Demikian dengan petani kopi, siap ke ladang untuk memetik kopi, saat musim kemarau akan tiba. Kalau pun ada pergantian sedikit, tidak jadi soal. Sebab, paling-paling akan kembali seperti semula, berkutat antara 2 musim yang sudah jadi familiar.

Pergantian musim seperti ini tidak terasa di bagian dunia berempat musim. Rasa-rasanya dunia berempat musim lebih tertarik dengan proses pergantian musim seperti ini. Sebagai pendatang baru di belahan bumi berempat musim, saya sungguh kaget dengan perubahan yang ada. Pergantian antara musim sangat terasa. Mulai dari panas sekali ke mulai dingin, lalu dingin sekali, kemudian mulai hangat, lalu panas lagi. Tubuh saya harus beradaptasi ekstra dengan perubahan yang ada. Kadang-kadang rasanya lucu. Kok kepala ditutup topi segala, kok berjaket tebal lebih dari 1 dan 2 segala, kok bibir dioles lipstik segala, lalu kok di musim panas semua seperti terbuka semua alias ditutup sebagian saja. Semua ini memang indah pada waktunya.

 [caption caption="di pinggir jalan pun ada dedauanan kuning"]

[/caption]Beberapa waktu lalu, saya diajak oleh seorang sahabat untuk menikmati masa-masa menjelang akhir musim gugur. Saat musim gugur, dedaunan pohon berjatuhan dan mati. Tak jarang, pohon tak berdaun pun menghiasi mata kita saat memandang sekitar. Tampak seperti pohon beranggas. Pohon beranggas di daerah tropis menjadi tanda bahwa pohon itu mati, atau sudah mati, atau menuju kematian. Pohon beranggas di daerah berempat musim seperti Eropa rupanya bukan pohon menjelang mati, tetapi pohon yang sedang beradaptasi. Dengan menjatuhkan daunnya, pohon itu sedang beradaptasi menghadapi musim dingin yang menderanya.

Tetapi, di sinilah hal menariknya. Boleh dibilang antara kematian dan keindahan. Sebelum mati, dedaunan itu menciptakan sebuah keindahan alami. Ya, dedaunan kuning itu membuat alam jadi indah. Dipadu dengan langit biru, tanah kering, angin sepoi, matahari bercahaya, dedaunan kuning itu menjadi tiada duanya. Indahnya bukan main.

 [caption caption="daun yang jatuh pun bisa jadi indah dipandang"]

[/caption]Saya mula-mula bertanya pada sahabat ini, apa sih indahnya alam saat ini? Hanya guguran dedaunan yang ada. Bukankah itu paling-paling hanya daun yang tak berguna selain untuk dijadikan pupuk saja? Kata teman saya, come and see, vieni e seguimi.

Dengan mobil FIAT-nya, kami berputar di pusat kota Parma. Rencana semula ke gunung dibatalkan karena kami melihat dedaunan kuning di pusat kota. Kota Parma memang memiliki banyak pohon di sekitar jalanan di pusat kota. Dedaunan inilah yang jadi objek penglihatan kami. Sungguh sebuah keindahan yang tiada duanya. Kata sahabat saya, pemandangan ini hanya berlangsung sekali setiap tahun. Hanya pada musim gugur. Setelah itu, kita harus menunggu tahun depan lagi untuk bisa melihat keindahan alam yang ada. Rupanya musim gugur itu seperti hidup antara dua dunia, antara kematian dan keindahan. Daun yang gugur rupanya harus melewati tahap keindahan dengan warna-warninya yang kuning.

 [caption caption="sebelum jatuh, dedaunan itu menghadiahi kita dengan keindahannya"]

[/caption]

PRM, 22/1/2015

Gordi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun