“Ril, ini dia!” seru Soedjojono selagi mereka masih di ambang pintu. “Poster sudah siap. Tapi belum ada caption. Tugasmu sekarang!”
Chairil Anwar memandangi poster itu sebentar.
“Ayo Bung!” ucap Chairil ringan, tapi dengan intonasi bersungguh-sungguh.
Sejurus kemudian Soedjojono dan Affandi saling pandang.
Lalu semua sepakat. Kata-kata “Ajo Boeng!” dibubuhkan di sana dalam gaya tulisan tangan Bung Karno.
Uraian di atas hanya sekelumit kisah tentang lukisan di Museum Benteng Vredeburg itu. Tentu saja sebagai sebuah poster (yang jika hidup) si “Ajo Boeng!” ini patut merasa jumawa.
Bagaimana tidak? Dirinya adalah buah kolaborasi 3 tokoh ter-ulung di bidangnya masing-masing. Affandi, pundit lukis yang dikenal karena gaya ekspresionisme-nya yang khas. Chairil Anwar ,“Si Binatang Jalang” pemelopor angkatan ’45. Dan Soekarno, manusia setengah dewa dan salah satu founding father negara ini.
Saya sendiri pernah melihat gambar yang ada di poster tersebut lengkap bersama caption-nya ketika berselancar di internet. Yang ada di pikiran saya mungkin poster ini dibuat oleh seorang anak muda melankolik-patriotik yang punya banyak waktu luang di atas komputer jinjingnya dengan bantuan Corel Draw atau Photoshop.
Tak pernah terlintas di benak bahwa karya ini adalah sebuah masterpiece sekelompok anak bangsa anti imperialisme dan anti feodalisme yang berjuang atas nama emansipasi politik dan sosial di masa itu. Demikian juga dengan caption-nya, “Ajo Boeng!” yang menjadi setengah nyawa poster tersebut selain gambarnya. Siapa sangka dua patah kata inspirasional dari Chairil Anwar itu pada mulanya muncul dari para wanita yang “dinistakan”? Frase yang menggelorakan semangat Revolusi Pemuda, sekaligus menjadi battle cry perjuangan anak bangsa.
Ayo Bung!
P.S. : Artikel ini juga saya publikasi di semenjana.blog.com. Silakan dikunjungi.