Mohon tunggu...
Gopas Siagian
Gopas Siagian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

“Without deviation from the norm, progress is not possible.” \r\n― Frank Zappa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyoal Objektivitas Pers dalam Konstelasi Politik dan Sosial di Indonesia

13 Januari 2014   11:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:53 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“There can be no higher law in journalism than to tell the truth and to shame the devil.” – Walter Lippmann

Media massa, baik cetak maupun elektronik merupakan instrumen vital dalam tatanan hidup bermasyarakat, baik sebagai media informasi dan komunikasi, menjalankan fungsi imperatif sosial bagi publiknya, maupun sebagai refleksi kehidupan masyarakatnya. Perwujudan kemerdekaan pers di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dinamika demokrasi dan sistem kekuasaan pemerintahan. Dimulai dari pembredelan media yang kerap terjadi pada masa Orde baru, hingga kebebasan pers yang merupakan manifestasi dari freedom of speech dalam wujud Undang-Undang Pers.

Sebagai negara demokratis, demokrasi di Indonesia antara lain hadir dalam bentuk penyelenggaraan pemilihan umum. Dewasa ini, masalah pelik yang menjangkiti dunia perpolitikan Indonesia adalah penggunaan media sebagai alat politik. Demi kepentingan pragmatis pengelola media massa yang sebagian di antaranya juga merupakan politikus dan calon yang akan dipilih pada pemilihan umum, banyak media massa yang tidak lagi menjalankan fungsi imperatif sosial bagi publik. Berbagai ajang pencitraan yang terkesan berlebihan, kecenderungan sikap yang intimidatif terhadap golongan atau tokoh lawan, serta berbagai upaya pemelintiran substansi pemberitaan pun jamak kita jumpai sehari-hari.

Hal ini seperti yang terurai dalam teori ekonomi-politik media yang dikemukakan oleh Golding dan Murdock. Mereka berdua menjelaskan bahwa dewasa ini media massa telah berpaling dari fungsi hakiki dan aspek epistemologis media yakni pemberitaan yang berpatok pada prinsip jurnalistik yang menjunjung tinggi asas objektivitas, akurat, adil, berimbang, dan menegaskan posisi netralitasnya. Media massa telah menjelma menjadi industri yang menjual produk berupa informasi untuk dikonsumsi masyarakat semata demi memperoleh profit bagi pemiliknya. Pola ini telah menjamur secara universal dalam suatu sistem kapitalisme media, dimana pers berperan penting sebagai agen ideologis yang membentuk pola pikir serta memandu perilaku konsumennya dan membentuk persepsi.

Sebagai contoh, masyarakat Indonesia sebagai konsumen media massa setiap hari disuguhi berita-berita politik yang cenderung bertendensi mendukung dan menyokong kepentingan politik si empunya media massa. Media massa tersebut menjadi alat propaganda dan politik praktis pencitraan para pemiliknya. Reputasi dan nama baik hasil pencitraan inilah yang menjadi “profit” dalam konteks teori ekonomi-politik media yang dicetuskan oleh Golding dan Murdock di atas.

Contoh kongkritnya adalah Aburizal Bakrie memiliki ANTV dan TVOne yang beraliansi pada kepentingan Partai Golkar, Surya Paloh dengan Metro TV, dan kemudian MNC Media Group yang meliputi MNC TV, RCTI, Global TV, dan harian cetak Sindo yang berada di bawah kepemilikan Hary Tanoesoedibjo yang juga menjadi ketua dewan pertimbangan partai Hanura sekaligus ketua umum ormas Perindo. Maka, disadari ataupun tidak, hal ini memiliki signifikansi yang luar biasa terhadap kecenderungan media tersebut untuk mengarahkan gagasan politik dan pencitraan tokoh masing-masing ke dalam setiap pemberitaan jurnalistiknya.

Contoh kasus propaganda politik dengan menunggangi media massa yang pernah ada di Indonesia terjadi pada tahun 2011, yakni rivalitas antara Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie dan Ketua Umum PAN Hatta Radjasa yang bersaing untuk  memperebutkan kursi panas kepresidenan pada Pilpres 2014. Aburizal Bakrie melakukan manuver dengan mendekati partai politik berbasis Islam seperti PPP dan PBR. Aburizal Bakrie mempunyai keuntungan sendiri jika propaganda politiknya terus dilakukan. Ical, panggilan akrabnya, seperti yang sudah disebutkan di atas, adalah pemilik stasiun televisi TVOne dan ANTV. Oleh karena itu, akses untuk melakukan propaganda politik dan pencitraan di dua stasiun televisi kepunyaannya itu terbuka lebar. Pemberitaan yang dinilai baik dan kurang lebih bisa merebut hati masyarakat tentang dirinya bisa ditonjolkan. Sedangkan pemberitaan yang miring tentang lumpur panas Sidoarjo dan lain-lain bisa dikondisikan sedemikian rupa agar tidak terlalu terekspos.

Begitu pula dengan pemberitaan terkait lawan politiknya. Ical melalui dua stasiun televisi miliknya bisa menyamarkan dan menyembunyikan keunggulan dari lawan politiknya tersebut. Seperti yang dikatakan ahli strategi perang asal Cina, Sun Zi dalam bukunya The Art of War, semua pertempuran didasarkan pada prinsip penipuan. Mau tidak mau dua media massa tersebut tidak dapat bersikap netral karena materi pemberitaannya sudah disusupi politik kepentingan.

Yang terbaru adalah kasus yang menimpa TVOne. Dalam acara Breaking News-nya, pembawa berita yang sedang melakukan dialog dengan seseorang di studio tidak sadar bahwa percakapannya dengan seseorang tersebut terekam dan bisa didengar masyarakat seantero tanah air. Pembawa berita menanyakan apakah dalam pemberitaan terkait penangkapan Akil Mochtar, perlu muncul kata “Partai Golkar” dalam narasi si pembawa berita. Meskipun tidak terlalu parah memperlihatkan sebuah kecenderungan untuk membela Partai Golkar, namun peristiwa itu menjadi bukti paling vulgar bahwa memang benar bahwa ada keberpihakan media massa tertentu terhadap sebuah entitas politik yang tertentu pula.

Menurut pakar jurnalisme Ashadi Siregar, sebagai pelaku profesi yang mengolah wacana yang mengisi ruang publik (public-sphere), jurnalis adalah seorang intelektual yang memiliki ruang otonomi dan independensi yang bersifat pribadi. Jurnalis tersebut boleh saja menjadi bagian dari manajemen organisasi media massa tempat dia mencari nafkah sebagai seorang pekerja, tetapi dia tidak lantas kehilangan otonomi dan independensinya sebagai pekerja kultural, sebagaimana seorang dokter yang menjadi karyawan rumah sakit sebagai institusi bisnis, namun tidak kehilangan otonomi dan independensinya sebagai pengabdi kemanusiaan.

Seorang jurnalis pada tingkatnya yang paling hakiki adalah seorang pekerja kultural karena berurusan dengan wacana. Dia bisa saja menjadi semacam pedagang jika media tempat dia bekerja adalah media penghasil komoditas ekonomi, atau semacam broker kekuasaan jika media tersebut bekerja mengurusi informasi untuk diolah dan menghasilkan komoditas politik. Sebagai pekerja, seorang jurnalis tentu saja harus bertanggung-jawab secara teknis kepada manajemen tempat dia bekerja. Namun yang tak lantas boleh dia lupakan adalah bahwa dia terikat secara moral dalam akuntabilitas sosial kepada publik. Tanggung jawab moral inilah yang membedakan pelaku profesional dengan seorang pekerja umumnya.

Pandangan yang menempatkan status jurnalis sebagai seorang “pekerja” dalam manajemen, telah mengurangi makna kultural profesi ini menjadi sederajat dengan kerja kasar/serabutan. Dan nampaknya ini pula yang kemudian menyebabkan jurnalis dalam kerjanya merasa sudah cukup dengan memahami dan menjalankan jurnalisme hanya sampai pada level teknis, dan tidak berkehendak untuk menempatkannya pada tataran epistemologis.

Sudah selayaknya jurnalis bekerja dengan memberi titik berat pada objektivitas, keadilan, kejujuran, dan berorientasi pada kebenaran akan apa yang diberitakannya. Para awak pers yang berada di lapangan maupun di balik meja redaksi agaknya perlu merenungkan kembali esensi dan kehakikian idealisme jurnalis yang mereka banggakan itu. Berpolitik praktis memang menjadi hak setiap orang dan bukan sebuah larangan. Kendati demikian, pemberitaan pers tidak boleh mengabaikan objektivitas pemberitaan informasi yang mengutamakan kepentingan umum. Pers tidak boleh sampai menjadi boneka wayang kepentingan golongan tertentu dengan elit politik sebagai dalangnya. Seperti yang dikatakan Ashadi Siregar, jurnalis selain sebagai seorang pekerja dalam tatanan struktural di manajemen media massanya, adalah juga seorang pekerja kultural yang punya otonomi dan independensi dalam melakukan pekerjaannya.

P. S. Tulisan ini juga saya publikasi di semenjana.blog.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun