Tak sengaja saya menonton acara televisi mata najwa di metro tv semalam (18/12). Kenapa tak sengaja? karena saya hampir tidak pernah menonton acara ini. Bukan karena acaranya tidak menarik, melainkan jam tayang yang tak terjangkau oleh mata saya :P Ketika jari saya tengah asyik menekan-nekan tombol untuk berpindah channel, mendadak saya berhenti di channel metro tv karena saya tertarik dengan judul di acara mata najwa tersebut, yaitu "Poles Politik". Di edisi kali ini, Mata Najwa membahas tentang mahalnya biaya politik bagi pelaku politik demi eksistensinya didunia politik atau demi kemenangan dalam pemilu. Selain biaya, berbagai carapun di tempuh demi kemenangan meraih suara terbanyak. Yang membuat saya tertarik adalah kata-kata pembuka dari acara tersebut. Berikut kutipannya: "Saat pemilu jadi perlombaan, segala cara akan diupayakan. Survey menjadi kunci untuk memetakan situasi. Konsultasi pada para ahli seakan-akan menjadi garansi. Berbekal ilmu pengetahuan, taktik pencitraan di gencarkan. Jika kemenangan jadi harga mati, dimana indenpendensi para ahli?" Inilah yang membuat saya tambah penasaran, dimana indenpendensi para ahli? Oke saya lanjutkan menonton acara tersebut. Pada sesi pertama, Mata Najwa menampilkan sosok bintang tamu yang mungkin tidak asing bagi warga jakarta. Dan sosok tamu inilah yang menambah ketertarikan saya untuk melanjutkan menonton. Bintang tamu tersebut adalah Hasnaeni sang wanita emas. Yang wajahnya sempat menghiasi angkot-angkot termasuk kopaja dan metromini di Jakarta pada saat menjelang pilkada beberapa waktu lalu. Saya memang benar-benar penasaran dengan sosok ini. Seberapa cerdaskah wanita ini sehingga pantas untuk menjadi pemimpin? Jawabannya langsung saya dapatkan ketika beliau membuka percakapan. Dari gesturenya, dari gaya bicaranya dan dari cara dia menjawab setiap pertanyaan Najwa. Kalau menurut saya pribadi, beliau lebih cocok jadi artis ketimbang jadi politikus. Itu dari penilaian saya pribadi loh..jangan dijadikan acuan atau standard cocok tidaknya seseorang jadi politikus..hehehe.. Kalau teman-teman ingin menilainya, silahkan nilai sendiri. Kebetulan acara tersebut ada yang merekam dan mengunggahnya ke youtube. Berikut linknya: http://youtu.be/GqBfclWNCys Dan penilaian saya berlanjut. Setelah mendengar penuturannya, ternyata saya jadi lebih tahu bahwa beliau adalah sosok yang ambisius. Beliau yang seorang pengusaha memulai kiprahnya di dunia perpolitikan ketika mencalonkan diri menjadi walikota Tangerang Selatan. Belum berhasil, lantas melanjutkan peruntungannya dengan mencoba menjadi calon gubernur DKI Jakarta. Kala itu beliau mencoba peruntungannya dengan menggandeng partai Hanura. Sudah banyak biaya yang digelontorkan untuk memuluskan jalannya menuju DKI 1. Bahkan menurut beliau, sudah menandatangani kontrak dan membayar "upeti" ke partai tersebut untuk mendukungnya di pilkada DKI. Namun ternyata, partai tersebut "ingkar" janji. Urusan berlanjut ke Kepolisian, namun hingga kini belum ada tindak lanjut dari kepolisian. Apakah beliau kapok? tidak! Beliau saat ini maju kembali dan mencoba peruntungan kembali menjadi caleg DPR Ri. Dan strategi yang di usung kali ini berbeda dengan yang sebelumnya. Selain bergabung dengan Demokrat, Kali ini beliau juga menyewa jasa konsultan untuk memuluskan jalannya menuju gedung senayan. Kali ini beliau yakin akan berhasil, sebab konsultan tersebut berani menjanjikan kemenangan. Oke..saatnya beralih ke "adegan" selanjutnya. Pada sesi berikutnya, bintang tamu yang diundang adalah wakil ketua media centre badan koordinasi pemenangan pemilu partai Golkar. Pembahasan kali ini kurang menarik perhatian saya. Karena pembahasannya seputar teknis pelaksanaan, trip dan triks cara memoles dan pencitraan ARB demi pemenangan menjadi orang nomor satu di Indonesia. Nah yang lebih menarik adalah sesi ketiga. Bintang tamu yang diundang adalah seorang konsultan politik dan seorang perwakilan dari lembaga survey. Inti dari pembahasan adalah bahwa survey politik bisa dipesan oleh siapa saja. Namun ironisnya, hasil survey yang seharusnya disimpan oleh sang pemesan justru di umumkan ke publik melalui media. Inilah yang menjadi bias, bahwa seolah2 hasil survey tersebut adalah falid dan apa adanya, padahal survey tersebut adalah pesanan dari seseorang atau dari lembaga tertentu. Yang mana hasilnya belum tentu objektif. Selain itu, inti pembahasan lainnya adalah, maraknya jasa konsultan2 politik yang bisa saja merugikan rakyat Indonesia pada umumnya. Loh dimana merugikannya? kita lihat dulu mekanismenya. Ada orang yang berambisi untuk menjadi anggota legislatif atau kepala daerah. Orang tersebut datang ke konsultan politik, membayar sejumlah uang yang dipersyaratkan lalu dijamin orang tersebut memenangkan pemilu. Prosesnya terlihat normal-normal saja. Namun apa jadinya bila yang ingin menjadi anggota legislatif atau pemimpin tersebut sebenarnya tidak kompeten dibidangnya? Lihat saja pengakuan konsultan politik tersebut, yang mengatakan bahwa rata2 mereka yang datang ke tempatnya tidak mempunyai visi dan misi. Kalaupun punya biasanya visi & misinya tidak bagus. Sehingga konsultan politik itulah yang membuatkannya. Dan tingkat keberhasilan dari memakai jasa konsultan politik tersebut terbilang cukup tinggi. Terbayangkan? Bila politikus yang menggunakan jasa konsultan itu akhirnya meraih jabatannya? visi & misi saja tak punya, bagaimana mau membangun daerahnya atau negara bila tak punya visi dan misi yang jelas. Mungkin dalam benak mereka, yang penting gue punya jabatan..masalah kompeten atau tidaknya itu urusan belakang. Alih-alih membangun daerah, yang ada malah meraup keuntungan sebesar2nya guna membalikkan modal yang telah dikeluarkan selama masa kampanye. Akhirnya..Najwa menutup acara tersebut dengan kata-kata yang cukup menohok. Semoga para politikus karbitan segera sadar.. berikut petikannya: "Para kandidat yang ingin instan, banyak bergantung pada para konsultan. Mereka yang halalkan segala cara, tak malu merekayasa angka-angka. Atas nama metodologi, survey pesanan dipublikasi secara murni. Masyarakat coba dipikat dengan pencitraan palsu yang merakyat. Politik akhirnya semata soal kemasan, yang dipajang untuk dijualbelikan. Promosi wajah & nama, tarjaja tanpa kekuatan isi kepala. Kampanye berubah menjadi unjuk harta, rakyat dikerdilkan sebatas suara. Ilmu politik seakan utak-atik, para konsultan menjadi juru taktik. Jika semua sibuk memburu kemenangan, demokrasi tak lebih sekedar barang dagangan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H