Gemerlap lampu jalan dan riuhnya dedaunanmenghembuskan sketsa kota,akan kumulai dari mana ?
sudut pandangku memandangmu,
jalan tembus dan gang rumah berkecipak sendu
sedang aku,
bagai perahu kertas menyusuri kelok sungai serayu
tapi suatu peta,
yang kau gambarkan padaku telah menjelma bimbang,
lalu menjadi sebuah teka-teki,
apakah itu tanda ?
ataukah engkau sengaja mengguruiku ?
di deretan trotoar ujung jalan kota hujan,
luruh daun kembang berserak menunggu kepastian
begitu mungkin aku,
hanya desir menghempas aroma tubuh
yang asing,
adalah kota ini yang perlahan kehilangan gerimis,
awan yang berarak,
deru mesin yang egois, beringas
seperti kota ini,
laju langkahku tanpa ada tanda berakhir...
batu-batu seakan enggan berkisah tentang hujan
Anak-anak burung yang belajar terbang, menciap
menengadah kelangit...
apakah ia bosan mengumandangkan asa,
ataukah lantaran ia resah memandang kita ?
dilemanya,
menghantui pikiranku
genggaman tanganku pada kembang kota,
kini lunglai...
aku di adili diriku sendiri,
biarkanlah kembang itu menjelma menjadi sebulir benih,
jangan kau renggut kehidupan,
biarkan ia memilih
seperti dirimu, seperti aku, seperti doa-doa kita.
yang keluar dari saku...
Surabaya, 15 June 2019
Rasull abidin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H