Sudah berkali aku lewati wajahmu di balik jendela
Tapi aku curiga, Â
Pandanganmu seakan menelanjangiku
Entah apa yang ada di pikiranmu...
Sudah berkali engkau paksa aku memendam pertanyaan,
Seakan bedil bedil mengarah pada jidatku.
Lalu aku harus ke mana?
Di jalanan mata matamu bagai hantu...
Di lautan matamu tajam menatapku
Aku... tak berdaya,
Sungguh Aku tak berdaya!
Lemah langkahku tak bersepatu
Tapi... jejak kaki yang panjang tepat pada mulut anjingmu,
Lihat... taringnya mengkilat menembus kelam
Tajam kukumu memainkan tanah kerontang...
lalu kau kokang bedil di mulutku,
Di belakang orang orang kota mengarahkan bedil di kakiku
Para kapitalis berkacak pinggang...
Tanah... lautan... bahkan sarung ibu ibu diperas sampai getas.
Supaya tak ada lagi gemerincing air yang tersisa,
Lalu buat apa..
Orang orang desa hidup di bawah menara?
Mereka terlunta...
Bagai kelelawar, bergelantungan di dahan trembesi
Di bawahnya orang orang kota mengkokang senjata
Pasti... kelelawar kelelawar akan terkapar!
Bergelimpangan di jalanan...
Menjelma gelandangan di trotoar jalan.
Lalu buat apa...
Ibu kota di permak bak surga?
Mengubah cara pandang orang orangnya
Yang tak peduli dengan saudara sebangsanya.
Jakarta, 12 juli 2015
Rasull abidin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H