Gubuk bambu separuh dinding semen kuyup, diguyur badai hujan
nenekku, ia duduk memangku keriput dagunya
Pepohonan , semak dan tiang jemuran basah
Pagi, kabut membangunkan lelap kumbang kumbang dibawah dedaunan
Lumut mengecambah,
Sesekali ia membuka jendela, lalu menutupnya lagi
Di pantai,
Barisan perahu nelayan kita masih lengkap,
Gerimis hujan dilautan di gulung gelombang pasang
Tak ada pekikan camar, dan nyanyian prenjak di dahan waru,
Tentu hari ini tak ada ikan yang akan ia asap...
Ia menghela nafas, memandang tungku yang tergenang
Nenekku, yang sendirian matanya melanglang ke angkasa
Ia terpaku dalam kenang,
20 tahun telah berlalu , bagai biji kapas yang jatuh,
Ia terbang di bawa angin sebelum menyentuh rerumputan.
Nenekku, telah bosan dengan rasa garam kenyataan
Nenekku, yang renta
ia biarkan rambutnya tergerai dibakar merah dan hitam kehidupan,
Hanya tungku dan arang jelaga yang setia
Menunggu ikan pindang yang ia asap dalam gubuknya
Lalu ia rangkaikan menjadi selembar asa.
Oo...gelegar guruh dan gemuruh angin mengoyak dahan dahan
Menyatu dalam batuknya,
Matahari yang ia tunggu, adakah khabarmu ?
Besok pagi sekali, aku ke pelelangan ikan, gumamnya
Mendung telah menutup kisi kisi langit,
Lantai pasir dalam gubuknya mengecambah akar rumput teki,
Ia lalu bersenandung,
Tentang bulan, tentang semilir angin, dan tentang kekasihnya
Mengulang lipatan waktu saat senja belum direnggut kegelapan malam
Sukolilo timur, 07 Apr 2018
Rasull abidin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H