"Aku tidak kuat."
"Kuatkan hatimu. Teguhkan."
Ketika peradaban sunyi datang menghampirinya, tak satupun tahu, bahkan dirinya pun tak tahu, tak merasakan tanda-tanda apapun atau sebersit gejala, setidaknya untuk diketahui olehnya bahwa dia sedang diserang suatu penyakit. Seluruh tubuh tak memberi tanda-tanda apapun, rasa apapun, nyeri, pusing atau dan lain sebagainya.
"Kau yakin aku sakit."
"Ya. Dapat dipastikan begitu."
Perjalanan panjang tanpa terasa tak jua tiba ditujuan. Meski tampaknya keyakinan itu telah datang  memberi jawaban. Dalam bentuknya yang absurd. Terkadang terlihat terkadang tidak. Apa sesungguhnya yang datang menghampiri lantas berdiam di tubuhku. tanwujud, apakah akan kelak mewujud.
"Kalau ternyata aku tidak sakit?"
"Tak mungkin kau sakit."
Keyakinan tak sakit, tak selalu mampu mengobati si sakit ataupun sang penyakit. Maka runtuhlah moralitas ramalan seumpama serupa meski tak mirip teori motivasi, sebab perjalanan telah tertulis tak satupun mampu  menunda ataupun merubah tujuan telah di tetapkan-Nya; meski spiritualitas memohon sembuh bagi si sakit, ini misalnya loh.
"Sakit ataupun tak sakit dimana masalahnya."
"Pandirnya kau. Sakit itu ada pada dirimu."
Persoalan sakit ataupun tak sakit mbulet bae di sekitar pemilik pikiran itu. Bisa menyerang siapapun, dimanapun sesuka hati, sekalipun proteksi pada penyakit telah di vaksin dalam tubuh, kalau laporan berkelanjutan tak jua sampai ke pemilik semesta mungkin interaksi dari arus terhalang tembok kasih tak sampai itu, mungkin saja jadi penyebab.
"Jadi sebetulnya aku sakit enggak sih."
"Gimana ya. Mungkin di antaranya."
Sebab barangkali belum bertemu tolok ukuranya; sakit ataupun tak sakit. sekalipun bisa di lihat dirujukan catatan kesehatan. Tampaknya mungkin keyakinan seseorang pada kata, tidak sakit, mampu mempengaruhi daya juang kekebalan tubuh, barangkali loh ya. Sila di telusuri informasi sugesti seseorang ketika menyugesti dirinya, bahwa dia tidak sakit.
"Yakin sekali bahwa kau tak sakit."
"Hanya itu kekuatan modal milikku cuy."
Modal kekuatan saja tanpa keyakinan mumpuni takkan sampai pada puncak gunung di kejar. Macet di tengah perjalanan bekal tak cukup, mampu mambahayakan diri sendiri. Kemungkinannya ada pada nurani keyakinan mandiri. Lanjut mati sebab bekal tak cukup. Batal melanjutkan perjalanan berani bersikap jujur pada alam natural mengakui apa adanya.
"Baiklah kalau begitu. Semoga keyakinanmu benar adanya."
"Itu bedanya dengan menyantap nasi goreng siang bolong nan terik."
Perjalanan sekalipun membawa peta petunjuk tujuan di kehidupan bumi. Tampaknya bukan jaminan bakal tak tersesat akibat perasaan penasaran pada wilayah tujuan. Ketika perasaan yakin itu muncul barangkali di sana letak penyesatan awal mula tujuan sekalipn menurut peta akan sampai ditujuan lebih singkat cepat dan selamat tanpa aral melintang. Yakin tuh.
***
Jakarta Kompasiana, Januari 11, 2025
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H