Tak seperti ketika ibu masih merawatmu bunga-bungaku. darimu lahir selalu sepotong puisi tentang kasih sayang. Sekalipun bencana itu pernah membrangusmu, juga rumah kami.
Bapak, kembali membangun perlahan-lahan, sementara kami di pengungsian, gembira bersama bermain lompatan tali, lempar pecahan lempeng gerabah, kerikil datar, dari tepian kali.
Mencuci, bermain air, bersama mengairi tenda pengunsian untuk kebutuhan air minum, dari mata air tanah bukit lebih tinggi, mengalir deras dari bejana bambu swadaya persaudaraan. Barangkali hanya tali cinta di antara kami pengikat kebersamaan antar penduduk sepuluh desa.
Bencana datang-pergi sesuka musim, ekosistem sedang menggeliatkan punggung hidupnya, mungkin. Rasa syukur tanah subur menolak tengkulak, tak pernah betah akal-akalan mereka, di musim panen. Maha Pelindung, senantiasa hadir, mendengar doa-doa kami.
Dengan berbagai cara terusir, pergi bersama niat kurang baik sang tengkulak pembeli hasil panen semurah mungkin, umumnya lebih rendah dari harga pasar. Lantas di jual dengan keuntungan sesuka hati.
Pernah ada kejadian sederhana, ada kabar, mendadak mesin pabrik pengolah produksi sang tengkulak meledak, mereka undur diri. Kami bebas dari tekanan.
***
Jakarta Indonesia, Kompasiana Desember 17, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H