"Cocok isme."
"Justru hal itu..."
"Akan segera menjadi..."
"Musim." Suara keduanya.
Ternyata tanpa setahu waktu dalam bentuk apapun telah lahir secara rampak serempak kompak jenis tumbilak bernama Bangsat. Situasi menjadikan saling selidik, berkelit dalam waktu jungkirbalik, terbolakbalik. Semakin rawan kontinuitas kelahiran bangsatbangsat bisa segara meluas menyatu dengan para bangsat pendahulunya.
Ini tak mungkin bisa dicegah. Para bangsat pendahulu berkumpul malam itu di tempat tersulit untuk di praduga, agar alibi bisa berkembang menjadi isuisu politis tertiup angin kembara sebagaimana takdir sosok angin membawa kabar kian kemari dalam kumparan wacanawacana tak terperi para bangsat secepat itu adaptif menyatu.
Tumbilak telah terbolakbalik menjadi Bangsat. Segala hal berkaitan dengan halihwal lingkungan tak sekadar wacana berkembang, apapun bentuknya, rupanya, ciricirinya, perwatakan apapun all in one berubah rupa menjadi Bangsat, tanpa strata kelas sosial, merata samarasa samabentuk samatampilan, seluruhnya berubah menjadi Bangsat.
"Apa terjadi padamu."
"Goblok. Bukan "mu" dalam tanda petik buka atau tutup tolol."
"Lantas?"
"Kita."
"Hah!"
"Dasar begog."
"Hah!"
"Kamu telah menjadi bangsat."
"Aku?"
"Iya kamu."
"Telah menjadi bangsat."
"Hahaha. Asik dong." Terpingkalpingkal.
"Kamu juga loh."
"Aku."
"Iya kamu. Juga telah menjadi bangsat."
"Aku?"
"Aiiihh! Kamu pandir deh."
"Hihihi hiks hiks hiks." Duet cekikikan.
"Hahahaha." Ngakak dahsyat.
"Huaaaa... Huaa ... Hahaha." Suara keduanya memecah angkasa.
Cuaca semakin ramah. Tak ada mendung kelabu tak ada rekam jejak diwacanakan
menjadi upacaraupacara remeh temeh renyah engkaulah hua hihu blabla alahalah ah hiya ah hiyu ah hiya cas cic cos dar der dor. Semua menjadi samarasa samarupa samabentuk seolaholah sama bernasib laiknya nyanyian angsa sepagi buta.
"Gue sih ogah."
"Maksud lo?"
"Dor!"
"Dor!" Kedua bangsat itu memilih mati dengan cara menembank kepala masingmasing. Bagi kedua bangsat itu jauh lebih baik mati bunuh diri ketimbang hidup di antara neobangsat.