Seakan-akan kekuasaan manusia lebih hebat dari Sang Pencipta, maka penampakan diktum kekuasaan terlihat melewati batas hukum humanisme dari langit. Maka kekuasaan monorel; manusia sebagai diktatorisme, monarki absolut duduk di singgasana, penentu hidup mati nasib manusia, di kurun masa sejarah manusia.
Bagaimana dengan demokrasi modern kini, lahir dari geobudaya dunia. Mampukah menciptakan perdamaian dunia. Disisi lain di antara negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) terus berlomba menciptakan senjata modern nuklir, demi satu alasan kemajuan ilmu di ranah tekno persenjataan modern, demi keamanan kemanusiaan, konon.
Hampir setiap waktu. Dari masa kecil hingga dewasa, pada umumnya, manusia diberi ajaran oleh moral lingkungan untuk senantiasa berbuat baik. Seperti tertulis di kitab-kitab suci kemaslahatan akal budi manusia, sebagai ilmu pengetahuan untuk hidup bersama di planet dunia, memberi tolok ukur kebaktian pada hakikat kebaikan di kebenaran.
Kadang-kadang ada pertanyaan kepada alam raya. Untuk apa kehadiran makhluk manusia di planet bumi. Jika masih ada pertikaian atas nama sebuah isme. Apakah karena manusia tak mampu, mengendalikan kehendak negatif, berbanding lurus dengan positif. Meski akhirnya pilihan kembali pada nurani bening.
Naif memang diperlukan, barangkali hal itu mampu menjadi kontrol sosial ketika kehendak damai bagi jiwa individu atau publik menempuh cita-cita kemaslahatan hidup demi perdamaian dunia dengan akal sehat. Masih menjadi kandidat cita-cita semua bangsa, sebab kini masih belum sampai pada kedamaian dunia seutuhnya.
Tampaknya pelajaran berdamai dengan nurani, sebuah pencarian pengetahuan tanpa henti, setidaknya, mungkin mampu meredam konflik kepentingan, di tengah proses belajar bersama menuju perdamaian dunia ke eskalasi humanisme. Menuju kesetaraan kehidupan demokrasi kalau masih menjadi cita-cita utama kemanusiaan dunia. Meski tampaknya masih terus sebagai sebuah pelajaran.
***
Jakarta Kompasiana, September 25, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.