Mohon tunggu...
Taufan S. Chandranegara
Taufan S. Chandranegara Mohon Tunggu... Buruh - Gong Semangat

Kenek dan Supir Angkot

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sampar Anonim

13 September 2024   10:29 Diperbarui: 13 September 2024   10:41 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Marjun, tidak marah. Tak perlu kesal pada hal tak penting pula.

Momok-momok kepalsuan telah menjadi gosip antar penghuni kota ke desa atau sebaliknya. Hingga ke desa atau kota ujung gunung bahkan sapi menjadi kambing atau kesebalikannya berkembang menjadi topik paling indah di tengah keramaian kenduri simpang siur air kata api tak serupa kata air, ataupun keterbalikannya sulit membedakan mana api mana air. Berakibat pada persaingan parodi anekdut badut gendut pemamah biak segala rupa, rakus bukan main deh ih sebel uh.

Api telah menjadi air kubangan limbah industri atau industri pengolah limbah beracun mengembangkan teknologi kudapan lingkungan seolah-olah bermanfaat untuk tanaman ataupun pertumbuhan pohon di hutan sekitar desa-kota itu. Protes tak mampu menembus telinga. Jawaban simpang siur-riuh bak ayam ternak kelaparan dalam kandang.

Berani melawan kuasa usaha ha-ha-ha, berarti akan berhadapan dengan pasukan tra-lala-trilili suit-suit; para jagoan bayaran anonim demi perut. Nah loh, bukan demi kepentingan umum, publik, di koloni mirip kota tapi bertempat di desa bersangkutan dengan suatu badan administrasi koloni setempat bernama.; Jos Gandos Patgulipat. Jring!

Paradoks, merupakan idiom seolah-olah mampu bermanfaat untuk keselamatan atas nama kemaslahatan publik setempat; sebab kritik sekadar lewat masuk tong sampah peradaban desa-kota atau sebaliknya. Sejak sekitar pegunungan telah berlimbah negatif itu, terus menguap mengeluarkan bau tak sedap serupa bau bangkai makhluk neraka sejenis iblis bermuka banyak bertopeng-topeng serupa kerabat genderuwo pimpinan setan berkepala serigala kroni para iblis dari neraka, seremkan. Hihhh! Takut deh...

Marjun, tak habis pikir. Apa iya, pengkhianat itu bermukim di kediamannya, tak lebih luas dari ruang tamu kaum majikan. Siapa, di manakah dia si makhluk itu bersembunyi. Apa mungkin pengkhianat bersembunyi di balik kasur, bantal guling si Bleki, nama anjing kesayangan Marjun. Bangsat betulan deh, kalau sungguh benar begitu. Kalau tidak? Ya pada bae lah sontoloyo number one sekali dia, beraniberaninya menyusup ke wilayahku. Marjun geram banget. Bagaimana bisa dia kecolongan, penyusup berhasil menyelinap masuk wilayah kekuasaannya.

Suara-suara aneh, memang, sungguhan sering kali menyelinap ke telinga, Marjun. Tapi itu hal kiasan biasa, urusan si Bleki, kalau hanya menyisir pengacau kelas kepending macam itu. Sok bergaib diri seolah-olah tak terlihat, tapi hobi nampang bolak balik muncul kepermukaan dunia nyata bersosialisasi-sekilas berwajah setan sekilas hantu sekilas dedemit meski samaran itu mudah di baca, ilmu laku dalam mereka masih dangkal, beraninya keroyokan, tapi, jika bertemu musuh sesungguhnya mereka serentak ngeloyor loyo pesakitan seperti ayam sayur sakit flu, kasian deh.

"Bleki! Kau urus bajingan penyelinap itu."

"Clear up! Den." Suara Bleki, menggonggong nyaring. Sekilas cepat Bleki menyeruput sesaji kopi pahit kelas wahid buatan majikannya, Marjun. Hadiah setiap kali sukses melaksanakan tugas.

Marjun, yakin betul penyusup, pengkhianat itu masuk lewat jalur frekuensi monyet. Tapi, ternyata, Marjun, tak terlalu pintar, hal itu terasakan di benaknya. "Tuyul betul, aku masih bisa kecolongan", kesal tertahan. Marjun, ingat pesan guru spiritualnya, wajib sabar, tak boleh emosional asal juru cuap-cuap, dalam menghadapi iblis bertopeng-topeng.

"Kalau pengkhianat itu, menyusup lewat jalur frekuensi monyet. Jenis monyet macam apa pula mereka", di benak Marjun.

"Sialan!" Marjun dalam benaknya, kesal.

"Sabar Den." Bleki menggonggong dua kali.

"Kau paham rupanya maksudku, Sobat." Marjun, mengelus dua kali kepala si Bleki.

Malam bertambah waktu menuju fitrahnya. Gelap, gemintang terlelap, tetap berkedipan berkerlipan menghias waktu malam. Bulan separuh kelapa memberi cahaya sesuka keikhlasannya. Tak ada kata, tak ada duka lara, Marjun, terus melacak keberadaan pengkhianat itu bersama Bleki, terus menggonggong kian kemari melolong-lolong.

Mendadak Marjun, bersama Bleki, merasakan tanah disekitar bergetar, bergemuruh, lantas meletuskan suara-suara seperti bergumam. Bleki, mendadak membesar, tubuhnya semakin meninggi, menggeram menyalak menggelegar.

Marjun, luar biasa kaget. Belum pernah menyaksikan, Bleki menjadi seperti itu, matanya menyala-nyala. Marjun, pun membesar, meninggi melebihi Bleki. Keduanya tampak bersiap menghadapi musuh, kira-kira begitu.

Tanah semakin bergetar, tambah bergemuruh, letusan menjadi ledakan, horor menyebar magnit pemangsa. Bau darah menyebar, sosok-sosok berlompatan, berkelebatan dari dalam tanah, terus meledak-ledak. Keempat kaki-kaki si Bleki kokoh mencengkeram tanah, tampaknya Bleki akan menyerang duluan, menggeram hebat. Marjun, merasakan tubuhnya kuat seperti raksasa, bersiap pula melakukan serangan.

Marjun, terbangun kaget akan melompat, sarungnya di tarik-tarik Bleki, sembari menggeram. "Ada apa sobat?" Bleki, terus menggeram menarik-narik sarung, Marjun, beringsut menghampiri mengelus kepala Bleki, bersandar di kaki Marjun, masih terasa kantuk menggelayut. Bleki, segera berdiri menatap, Marjun.

"Kau lapar sobat?" Bleki, merundukkan kepalanya "Oh, kau juga mengalami mimpi itu tadi?" Bleki, mendongakan wajah memberi tanda dengan anggukan kepalanya.

Marjun, melihat jam dinding, bersegera, bergegas menyiapkan perlengkapan pendakian. Keduanya menuju gunung berlimbah racun industri modern. Sejak itu mereka tak pernah kembali.  

***

Jakarta Kompasiana, September 13, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun