Politik sebuah keputusan istilah. Dari suatu pengembangan daya pikir pada sikap pilihan. Bersifat personal atau kelompok menuju publik. Aneh, pada satu bentuk istilah kata itu "politik" tergantung dari sisi mana melihatnya. Menjadi relatif. Cenderung menjadi daya guna, bisa juga jadi manfaat, pada pesona gigantiknya.
Menjadi objek ketika subjek menyebut kata itu. Maka lahirlah perseteruan, persaingan, pergolakan, pengkhianatan, intimidasi, hipokrisi, hanya karena satu kata itu. Trans kata itu, menentukan titik didih perjalanan individual, kelompok, lagi menuju massa. Perang di benua lain, kebrutalan di benua sana, makar di sebuah negeri atas angin, invasi militer di negeri jauh bagai dongeng kekacauan.
Baratayuda antara isme, menjadi permainan percaturan politik idiom bagai aksara terbaca ataupun jungkir balik, seakan dunia dibuat kiamat sesaat. Paranoia mencapai kepentingan bisa aklamasi atau pun individual. Menuju label atas nama. Kebenaran satu sisi, gelap di sisi sebaliknya. Senjata menjadi penentu kematian dalam satu kisah peperangan dari zaman ke zaman, dimulai sejak kaum nomaden hingga monarki dan modern.
Ambang batas ketika zaman itu, eksistensi harkat kehidupan seakan nol ketika sebuah peperangan meletus dalam sebuah kisah pewayangan. Seakan tidak ada kasih, tidak ada cinta. Pintu atas nama terbuka pada ego makhluk hidup. Singa menerkam ayam kalkun. Kemenangan heroisme menjadi euforia. Isme monorel-satu arah memanah rembulan mungkin juga bisa mampu memanah neraka atau pun surga.
Provokasi mendarat di antara situasi hidup. Makhluk sosial kehilangan keseimbangan daya rasional. Titik api menjadi bara, letupan, ledakan besar, kembali kekacauan kadang disebut reformasi meski kerugian atau pun keuntungan tetap ada di semua pihak. Siklus menjadi putaran waktu. Para filsuf menulis titik balik, logika, bermain pada imajinasi, pada garis merah teori, pengembangan analisis, bergulir di mazhab, di ruang sang kala.
Meski seni kultus politik idiom sama persis karakternya dari zaman ke zaman. Hanya di kemas berbeda label, teknologi dalam era berjalan paralel bersama inovasi kultural, dalam gala hipnosis daya watak serentak daya pikir. Itu sebabnya mematuhi ketentuan; sebagaimana seharusnya tidak masuk ranah lain di luar jangkauan kekuasaan telah di tentukan undang-undang. Sebab akibat dari perilaku mentang-mentang gue penguasa lahan bla bla bla akan malih rupa menjadi karma alami atas perilaku.
Perilaku kultural berkembang dalam teknologi-sains di era zaman terus bergulir mencipta manfaat. Jika hal kultur edukasi tetap dalam ranah gotong-royong sebaiknya; mau mendengarkan suara rakyat, tak sewenang-wenang mencampuri segala urusan dapur tetangga. Malu loh ditegur anak sendiri lewat orasi kemaslahatan publik.
Itu sebabnya pula belajar berani berhadapan dengan demo mahasiswa, mereka kusuma bangsa tengah bertumbuh menyayangi NKRI Pancasila, catat dengan huruf tebal.; Mahasiswa membangun komunikasi atas dasar Pancasila, ingin menyampaikan opini demi kemaslahatan publik.; Tengok kembali undang-undang dasar negeri ini. Salam kasih sayang Indonesia.
***
Jakarta Kompasiana, Agustus 27, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H