Mohon tunggu...
Taufan S. Chandranegara
Taufan S. Chandranegara Mohon Tunggu... Buruh - Gong Semangat

Kenek dan Supir Angkot

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Neokepinding

20 Agustus 2024   04:31 Diperbarui: 20 Agustus 2024   04:36 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dewa mesin! Jangan membiarkan hidupku seperti ini dong, hidup lebih lama bahkan mungkin takkan perna mati. Huhh. Huu. Hiks." Jantungnya  berhenti sejenak. Tersedak sejenak. Lantas tertawa terbahak-bahak, tersedak lagi, seperti makhluk mau mati akan tetapi tidak jadi. Dia kembali berakting agar lebih meyakinkan, diri sendiri.

"Kamu gila ya!" Kata perasaannya sendiri, berkecamuk simpang siur. Kembali dia, merangkak dengan cepat menuju depan panggung sandiwara itu. Berdiri seolah-olah dari lunglai menuju gagah menggeram pada diri sendiri.

Lampu-lampu spot menyala fokus, panggung memerah. Lalu kepiawaiannya memainkan imaji peranan, mengguncang tubuhnya. Antara tangis dalam tawa terbahak-bahak. Dia terus melakukan hal itu, terbahak-bahak dalam tangisan, geraman, amarah amoral.

Seakan-akan puncak dari rasa kehilangan entah apa. Meski sesungguhnya dia pura-pura tak pernah tahu, untuk apa hidup tanpa gelar pemangku proyek sembelit lagi, atau tanpa gelar apapun, termasuk tanpa julukan apa saja. Nilai kemanusiaannya sirna oleh, lagi, dirinya sendiri.

Hanya waktu di musim terus berganti tidak menaruh dendam apapun padanya, meskipun dia pernah menyakiti ekologi gugusan ekosistem secara geobenua, dari sistem neraca geologis matematis kelas supramodern, dalam ranah ekosistem sempurna natural milik Maha Pencipta.

"Dasar biang kerok! Beraninya main keroyokan!" Kata jiwajiwa, korban dari perbutannya, telah merasuk di selsel darah, menuju syarafsyaraf dalam diri, akan segera meledakkan kepala batunya. Suara mesinmesin terus bersoraksorai.

Dia, memang manusia superandroid manipulator kelas kakap, berkepala ikan hiu, memang demikian, mungkin takdirnya. Dia, punya banyak cara untuk menjadi siluman apa saja, semirip gelar pintar. Meski sesungguhnya, dia, pencuri keadilan, mau menang sendiri, dialah, tangan iblis ajaib konspirator alias the invisible hand, disinyalir sungguh begitu. Lagi, menurut laporan pandangan mata dari sejumlah media digital.gaib, secara utuh, mungkin sudah bisa dipastikan.

Ketika dia merasa bisa menyulap sistem berjenjang. Awan cakrawala, sarkastis geobenua membrangus dirinya, menjadi bukit batuan fosil tak berguna. Tak lagi ada emas permata ratna mutu manikam, hanya ada air mata darah terus menerus mengalir.

Akhir dari kuasa usaha sebagai pemangku proyek sembelit, telah direbut paksa makhluk robot buatannya sendiri, karena dia selalu lupa diri, congkak, pongah, takabur, kini apapun keinginannya, tak lagi kan terujud. Bahkan dia, tak pernah tahu katakata dari pikirannya sendiri, untuk siapa, di mana, kapan. Terkadang dia rindu memakan kotorannya sendiri.

Waktu baginya adalah angan-angan, mimpi, muskil, niskala surealistik, pada kosong, mungkin pada sepi, mungkin juga pada aksioma, mencipta paradoks skemaskema matematis, nonvisual, nonnalar, nonvirtual, nonvisi, nonmisi.

Karena fiksi, telah membunuh setiap molekul darah, merembes ke permukaan poripori kulit berlogam mulia itu, meledakkan propaganda dirinya. Menggelegar! Membahana.

***

Jakarta, Agustus 20. 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun