Mohon tunggu...
Taufan S. Chandranegara
Taufan S. Chandranegara Mohon Tunggu... Buruh - Gong Semangat

Kenek dan Supir Angkot

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Neokepinding

20 Agustus 2024   04:31 Diperbarui: 20 Agustus 2024   04:36 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo Doc Kompas.com

Dia, diburu masa lalu selaku pemimpin pembantaian neodrone pesaingnya, pada masa peralihan revolusi teknologi, itu dulu bisik hatinya. Ketika aku masih disebut si pandir, oleh sejumlah kalangan pesaing, awal mula menjadi pemangku proyek sembelit.

Sekarang, dia, gelandangan di tengah futuristis megalopolis terkurung fantasi akronimakronim, diremang gosip merah jambu, kenes asal bunyi, terbaca monoton, sama persis ketika dia menjadi kuasa usaha diri sendiri. Tak ada transisi estetis apapun, kecuali, para figuran peniru-lifestyle intelektual, padahal mereka, figuran golongan genre bingung.

Diplomasi stimulus tak seindah warna asli lukisan kehidupan, ditinjau dari sisi nilai penampakan siluman, degradasi stabilitas berjamur dalam selang saluran air. Dia, konon tertipu sistem politisasi setara itu, terdesak kaumnya sendiri, ditinggalkan begitu saja. Penyebab persekongkolan terjadinya peristiwa pembantaian neodrone itu. Wah, pusing dia.

"Tangan ini robotik hidupku. Musuhku, diriku sendiri." Pikirannya memvisualkan perilaku diri sendiri, hadir di kesendirian kini, di sepi menakutkan, di sunyi merobek-robek dirinya, karma dari akibat perilaku dehumanisasi konspirasi koalisi.

Di musim perubahan berlangsung, di saat pula kejatuhannya, dari kursikursi imitasi buatan sendiri, mendemo diri sendiri pula, dibentuk oleh kealpaan kemapanan adikuasa adigang adigung, telah menghancur-leburkan, merampas, semua miliknya.

Karma itu berlangsung cepat dengan bunga tinggi. Perkumpulan arisan kaum feodal bentukan kekuasaan imitasi menghempaskan, mengakhiri segala kekuatan darah biru kepalsuan dari identitasnya. Terbukalah kedok para neokepinding ketika para neokecoa berebut sampah peradaban di era itu.

Lantas. Ketika nilai menjadi pedoman isu pro-kontra, mencuatkan isme area abuabu, di antara pepohonan demokrasi plutokrat sistem autokrasi, di balik kuasa monorel, dirinya, kejangkejang menghisap diri sendiri. Dia, terperangkap dalam polarisasi oportunistis autodrone buatannya sendiri pula.

"Kejamnya diriku." Liris, menyayat di hati, telah beku mengeras menjadi batu megalitikum kuantum, menghantam setiap selsel otak, menariknarik dirinya keruang pekat hitam sempurna.

"Ohoi! Sesal kemudian tak berguna." Suara mesin itu lagi, hadir gegapgempita. Berkumandanglah, orasi obat anti ngantuk untuk parlemen plastik pernah, dia, suarakan di podium massa promo aksi, dalam diskon papan atas menyulap batu menjadi emas permata ratna mutu manikam. Salah satu dari sekian juta penyebab dia sekocak keadaannya kini.

Dia, menjadi semirip badut, tak lagi dikenali, sebagai mantan pemangku proyek sembelit nomor wahid. Kini, dia, seperti ulat bulu di antara sesama gelandangan futuristis, meski, dia, dulu penjual moda operasi khusus modus operandi seni palak memalak, promo gayahidup imitasi, menuju kursi plastik daur ulang berkostum peri nyamuk, seakanakan pembela kaum berbagai pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun