"Wah. Mengecewakan sekali."
"Hahaha. Bisa kualat juga katanya." Perdebatan berhenti sampai di situ.
Bumi di pijak bergetar serupa gempa. Keduanya kembali diam menelan bisu. "Haha. Takut ya. Tadi menyalak galak. Baru saja gempa. Takut ya. Hahaha. Bilang saja takut gempa."
"Persoalannya bukan itu. Justru gempa pertanda info senyawa optis episentrum."
"Jangan belok kemasalah anyar. Lantas sembunyi di baliknya."
"Ho ho ho. Sebuah permainan lempar dadu."
"Dramatik adonan. Sederhana jadi rumit."
"Seolah-olah kesalahan."
"Wow! Sikap mendua tak kepalang arah."
"Oke. Kita uji materi. Penolakan beralibi. Mantap. Mari meninjau masalah sejak awal mula. Tadi datang menghampiri saya memperlihatkan berita dari telepon seluler anda. Mungkin saja berita itu kadaluarsa. Setelahnya, membaca serentak. Sampai debat tak penting ini mengangkasa. Anda memancing dalam air keruh. Anda siapa? Oh! Saya tahu. Anda sengaja membangun dialog untuk mendapatkan info. Apapun itu penting untuk pihak anda. Aha! Akal sehat mencoba mengulik lewat masalah sederhana. Hahaha anda mereka-reka kreasi hal ihwal, agar muncul masalah lantas dengan mudah membrangusnya. Ini menyoal sebuah berita tentang saya, di kelabui boneka. Hah! Anda mencoba menarik benang merah lebih panjang. Meluaskan ruangan. Hahaha. Kuno sekali. Pelempar soal menyoal. Alhasil itu pun uji coba rupanya. Masih harus magang lagi lebih lama."
"Oke. Kalau uji materi dari sudut pandang berbeda, bisa jadi hal itu persembunyian dari makalah bermasalah. Widih, segitunya ya kecurigaan anda. Cakep. Mari melangkah lebih jauh. Oh! Ya. Â Saya mencoba paham sekarang. Justru anda mengembangkan wawasan masalah menjadi melebar. Anda ingat? Saya cuma bilang ada artikel, lantas anda menyebutkan judul dari teks itu. Seharusnya anda tak perlu verbal begitu. Cukup membaca dengan hati melalui pikiran anda. Mengapa anda tidak memilih opsi membaca dalam hati. Hihihi, anda mencoba menjajakkan popularitas dengan cara memantulkan masalah lewat momen. Membuat situasi serupa namun berbeda. Hah! Terlihat sekali pola dari sebuah acuan hapalan. Indoktrinasi the invisible hand? Hahaha abstraksi dalam realitas. Seolah-olah begitu. Mudah berkelit tak terlacak sumber infonya. Ingat kawan. Mereka lupa. Sumber info tersirat lantas kan tersurat sekalipun serupa liputan investigasi. Aha, mereka lupa rupanya. Sekalipun bersin satu kali, seni akting kepura-puraan tetap terpantau."
"Penyangkalan agak masuk akal. Namun kurang cerdas."
"Wow! Satire menjauh dari mutu."
"Maklumat belum berakhir dalam hitungan."
"Risalah pesanan. Itu pepesan kosong."
"Di sini kita jumpa, mempertanyakan hal ihwal macam itu."
"Membuka kesadaran budaya. Sejumlah angka di antara bilangan."
"Hahaha. Saya bukan monyet penerima begituan."
"Hah!" Menepuk pundak lawan bicaranya. "Setuju. Bukan monyet suruhan kan?"