Mohon tunggu...
Taufan S. Chandranegara
Taufan S. Chandranegara Mohon Tunggu... Buruh - Gong Semangat

Kenek dan Supir Angkot

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerita Bio Aroma

9 Agustus 2024   21:15 Diperbarui: 9 Agustus 2024   21:19 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo Doc Kompas.com

Keluarga, langit untuk negeri, ada, cinta, kasih sayang, masa depan. Kehidupan mengayuh biduk bersama menembus badai atau gelombang. Ayah dan ibu, kakak, adik, cinta itu bersatu dalam doa kebaikan. Salam cinta kasih keluarga Indonesia.

***

Beberapa waktu setelah Sakramen Pernikahanku... Gambar-gambar silih berganti... Kenangan masa kecil, kenakalanku bersama `kakak dan adikku. Ibu membelaiku.
"Ibu, ada cucunya di rahimku," kalimat itu lepas, mengalir tulus.
Pandangan Ibu sejuk. "Biar Ibu, memberitahu Ayah, hari bahagia ini. Suamimu sudah tahu."
"Sudah, tadi waktu akan berangkat tugas," ibu memeluk, mengajakku ke kamar. Tak seperti biasanya. Waktu terasa lebih cepat.
"Istirahatlah. Jaga kesehatan bayimu," tubuhku malas bergerak bangun, masih ingin di peluk Ibu...
Mata ini masih penuh petir berkilatan. "Berkati kami..." dimensi kalbu di kecepatan kaleidoskop, gravitasi waktu tak bisa dihitung mundur.
Dulu Ibu menimang, menyusui, semoga aku berguna, tauladan bagi diri dan lingkungan. Aku duduk di sampingmu, kepalaku di bahumu, tak ada desah atau suara apapun terasa dari nafasmu, tenang, damai seperti biasanya pada senyummu, padaku, pada Ayah, Kakak dan Adikku.
"Kakak dan Adikmu sudah tahu," suara Ibu lembut sejuk bagai udara di gunung tertinggi.
"Iya. Mereka menitipkan beberapa nama untuk keponakannya ini," ada petir di mataku.
Inilah kami, keluarga, apa adanya. Keterbukaan mendidik kami sejak awal mula masa kecil, salah satunya, tak boleh berbohong. Bicaralah seterang matahari. Lurus saja, tidak menikung atau berbelok atau berliku.
"Bergandengan tangan, apa pun pada hal apa saja", suara Ayah di meja makan sebelum berdoa, selalu melemparkan kalimat itu dalam santai di senyum imannya.
"Cintailah siapa pun sesama setulusnya, bantulah apa pun, jika mungkin, kita bisa," kalimat Ibu sebelum menutup doa setelah makan.

***

Ruang keluarga mungil kami. Ada canda. Ada keriangan senantiasa. Ada berita peristiwa di kehidupan. Perbincangan, segala hal kesibukan masing-masing.
Menunggu kedatangan suamiku. Telepon rumah berdering seperti biasa. "Halo!". Suara adik. "Ya. Malam. Baik. Oh! Ikh! Sebel! Maksudnya. Oh! Ya!" Adik selesai bertelepon. "Zizy... Katanya ada berita tabrakan kereta dengan sebuah mobil," suara Adik agak aneh. Ayah mengambil remote teve.
"Ayah... Please. Stop, nah itu dia, seru, gosip politik," suara kakak.
"Parlemen sedang mendidih."
"Kan sudah final, Kakak", manufer suara Ayah tenang. "Nggak ada. Wah isu lagi..." Ayah melirik Adik.
"Hi...hi... Zizy bilang begitu. Siapa tahu mobil itu kita kenal," kepala Adik sambil nyundul bahu Ayah.
"Oke. Oke. Maaf. Coba Ayah cari lagi. Disiaran khusus berita..." Suara Ayah santai. Aku merasa waktu sudah cukup malam.
Dimensi waktu kemudian. Telepon berdering. "Halo. Malam. Ya betul. Ada..." sesaat tegang. "Dari Maminya Masmu Dik," kakak menyerahkan pesawat telepon padaku.
"Ya. Halo. Iya Mam..." mendengar berita singkat dari Mami mertuaku, kami segera menuju Rumah Sakit. Waktu sungguh berlari amat cepat.

***

Suamiku tidak direnggut oleh siapa pun. Takdir hadir di kelalaian ataupun pada kesadaran hakiki sekalipun di realitas kehidupan. Apa iya?
Lalu bagaimana dengan benih, cinta kasih, tumbuh pada kesadaran dari keinginan, kehendak pada cita-cita, direncanakan. Benihku, kehilangankah dia. Meski telah disadari, kebersamaan, oleh suatu sikap sebagaimana adanya, mengalir. Benarkah manusia memiliki hidupnya masing-masing, seperti berkat lahirnya. Ketika perjamuan disatukan dalam janji peradaban.
Beberapa waktu setelah kejadian kehilangan itu. Terasa badanku masih kurang nyaman.

***

"Ini siapa," suara Ibu. Di antara kegembiraan dua keluarga.
"Bibirnya seperti Ibunya. Matanya seperti Ayahnya," suara Mami mertua lembut. Dua perempuan amat aku hormati memandangi bayi mungil, keduanya bergantian menggendong dalam cinta mereka.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun