Mohon tunggu...
Taufan S. Chandranegara
Taufan S. Chandranegara Mohon Tunggu... Buruh - Gong Semangat

Kenek dan Supir Angkot

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tentang Embun

7 Agustus 2024   19:02 Diperbarui: 7 Agustus 2024   19:12 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo Doc Kompas.com

Kesabaran masih menemani waktu, meski tak tau kapan menghentikan jarum jam itu. Apakah waktu masih memberi garis edar antar planet, untuk embun ataupun matahari dari sudut belakang pencahayaan dinanti. Tak guna memikirkan itu, sekalipun detik bertambah di titiktitik waktu setiap kali detak mengolah nafas pada degup.

Panorama masih sama sejak tadi, matahari tak jua muncul seperti harapan membentang di dalam pesona perasaan jiwa. Harapan pada keindahan akan tampil, ketika awal cahaya matahari memberi makna dari belakang embun-back lighting, pada eskalasi puncak mistis tak semudah ditemukan di lain waktu dimomen serupa sekalipun.

**

Cercah cahaya terlempar dari kejauhan di belakang para embun itu. "Mengagumkan sekali. Keren!" Suara girang tertahan senyum antara tangis terkesima, ingin semua perasaan sejak tadi mengekspresikan logika di lensa ini.

Cahaya itu terus melemparkan efeknya pada embun, kerlapkerlip seperti kunangkunang di malam hari. Mendekati para embun itu amat pelahan, cahaya di belakang embun itu bukan cahaya matahari seperti lazimnya.

"Apakah itu?" Belum selesai kagumku pada cahaya itu. Terasa pipi seperti di tepuktepuk beberapa kali.

"Bangun Bung! Jangan tidur di kursi taman," dengan aksen unik terasa asing. Aku terkejut bukan kepalang, kesadaranku belum merata di kepala, terlihat jelas sosok di depan mataku itu mirip sebuah gambar di literatur sejarah negeriku.

Ya! Pernah aku melihatnya di museum kota tua arah menuju pelabuhan kolonial tempo dulu, sama persis dengan lukisan di sudut museum itu. Perawakannya tinggi besar. Gambaran seorang Eropa berseragam lengkap semirip tokoh pejabat tinggi tempo dulu. Aku mencoba bangun pelahan terhuyunghuyung beberapa kali, mengerjabkan mata berulangulang.

Sosok itu, membantuku berdiri, menatapku sejenak, matanya biru kehijauan seperti kelereng bening. Tersenyum tak jelas benar, lalu dia sirna secepat detik, di antara pohonan purba, tak sempat aku memotretnya. Setelah menunggu momen berharihari, dia raib begitu saja bagai embun menguap.

***

Jakarta Kompasiana, Agustus 07, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun