Warnawarni akan memancar dari akibat pencahayaan matahari dari belakang para embun itu memantulkannya di cembungan embun bagai pecahan wajah cahaya matahari kelak. Fantastis, bagai pantulan cahaya ratna mutu manikam membiaskan beterbangan ke udara pada sejuk waktu ini.
Sistem memainkan peranan dalam persoalan waktu antar jeda imajinasi, bumi ataupun matahari, kedua benda planet tercipta dari gumpalan periode organisme zat, menjadi padat membentuk struktur material sains mineral metalurgi kosmik.
Mempercayai aksioma molekuler inti pada titik didih, memaksimalisasikan alfa dalam bentukan bilangan gama memecah diri menjadi mata rantai gravitasi benda terlindung oksigen meruang di kosong antar eksak metafisis asalnya meruang sains Ilahiah.
Dalam kesadaran diorama penciptaan tak sekadar takdir benturan, ledakan, guncangan jagat raya bagaikan kumparan mesin cuci berputar terbolakbalik, meletupkan zat zat padat hingga terbentuknya para planet, konon demikian adanya naturalism the science of art.
**
Namun mengapa hingga tengah hari matahari kini tak jua menyingsing. Tak ingin bertanya pada, kesabaran, sekarang sedang menanti waktu itu tiba membawa pesan cahaya kepada embun seharusnya secara alamiah.
"Mengapa tak jua terjadi?"
Meski telah memeriksa semua hal diperlukan untuk menyelesaikan tugas hari ini menemui embun si nuansa matahari. Keduanya harus hadir serentak. Agar dari momen itu tercipta visual estetis, eksotis cahaya gemerlap perupaan gemercik air back lighting, keren banget.
"Tapi mana mataharinya?"
**
Embun sudah sejak dini waktu menunggu. Seperti solis orkestra oleh satu gerakan partitur dirigen mengalu lah irama membentuk mozaik renda menghias bingkai peradaban, tanpa filter sensor sistematis akalakalan mencoba mengurangi rentangan warna akalbudi. Alam memiliki caranya menemui iman kekasihnya hakikat kebenaran hakiki, menepis akal bulus makhluk hidup nonestetis.