Sebuah pemberitaan, bisa sendat karena sebab suatu hal abstrak, mempertimbangkan, boleh, tapi bukan dalam arti pengecut. Menjaga ketenteraman publik, oke, silakan saja-perlu diingat-ingat pula publik perlu arus informasi tersahih. Lantas kalau berita itu menyoal perilaku pemangku kepentingan terpenting, tergantung keputusan-masuk sidang redaksi, pemred pusing, redpel tujuh keliling.
"Macam mana kawan," santai.
"Kalau aku dibunuh di jalan," tenang.
"Risiko jurnalis," memandang sejenak.
"Oke, maju kita," memandang tajam.
"Mereka barbarik. Apa akan kau buang fakta itu," meyakinkan.
"Tidak," tegas.
"Kita bongkar kawan," keduanya kembali ke meja kerja.
Kehidupan kota berjalan sebagaimana mestinya. Koran pagi ramai pemberitaan seru, kata berita utama, sosok terbujur ditemukan mati tanpa kepala. Tak berapa lama kepalanya, tak jauh dari tempat tubuhnya ditemukan berikut tas laptop, dari temuan tas tersebut telah diketahui identitasnya.
"Kawan, kau baca koran pagi," menyerahkan lembaran koran.
Menyimak judul utama lantas meneliti isinya. "Aneh," mengembalikan koran pada sobatnya, kedua jurnalis, memacu kendaraan sport roda dua, menuju tempat kejadian. Telah dibatasi garis petugas penyelidikan. Keduanya mohon ijin untuk memotret, diijinkan, tapi hanya boleh dari sudut telah ditentukan petugas.
Waktu berganti seperti wajarnya dua kali dua puluh empat jam, kalau berubah mungkin kiamat sudah dekat. Sosok ditemukan kali ini termutilasi terbagi dalam beberapa plastik kantong sampah, ditemukan oleh kelompok hobi bersepeda mereka mencium bau menyengat pada pagi hari.
Ketua rombongan sertamerta menghentikan kelompoknya, berserentak mencari sumber bau berbeda dengan bangkai binatang. Mengejutkan, setelah melihat salah satu potongan kaki menyembul dari salah satu plastik sampah, tersebutlah kepanikan total rombongan itu, secepatnya pula melaporkan temuannya pada petugas terdekat.
Dengan berbagai upaya, kedua jurnalis berhasil memasuki kamar mayat rumah sakit atas seijin petugas setempat. Amanlah keduanya masuk dengan nyaman terkendali didampingi petugas kamar mayat. Keduanya melihat dengan mata kepala mereka, tapi tak diijinkan memotret, dicatat boleh, sekalipun identitasnya pun cukup lengkap pula.
"Aku perhatikan tadi potongan kepalanya kawan, seperti hendak mengatakan sesuatu kepadaku," sembari menyantap makan siangnya.
"Aku merasa dia membisikan sesuatu tapi tak jelas dia bicara apa," sembari mengendalikan pedas di mulutnya.
"Akupun penasaran kawan," menyuap makanannya pelahan.
"Sama kita," keduanya prihatin menerawang jauh.
Â
Punggungnya terasa ditepuk cukup keras. "Bangunlah kawan," suara sobat kental kopinya, terkesiap dia langsung melek "Kau belum setor wawancara dengan si cantik itu," suara sobatnya mengingatkan, lanjut sobatnya "Dia baru saja menelpon, menanyakan artikel wawancara itu. Salam pula katanya."
"Alamak, mati aku."
"Kenapa rupanya. Jantungmu mati." Keduanya ngakak.
***