DONGENG LANGIT.
Sentir layar terkembang cahaya pembuka.
Musik: Metal symphony adegan berkisah.
Panorama cerpen, imaji mengurai sel-sel otak agar tetap sehat walafiat. Tak ada pembaca tak ada seni susastra. Jelajah imajinasi.
***
Ketika hipokrisi, baru saja berlangsung. Beterbangan euforia, arak-arakkan berhias bunga-bunga indah, disebaliknya pewarnaan menggubah afiliasi.
Tebak-tebakan, keping kanan atau kiri, koin di lempar ke udara. Seakan-akan kejadian akibat gravitasi, bukan rencana eskalasi instalasi sarang laba-laba, alih-alih tatalaku frekuensi natural.
"Sambel asem! Benar-benar sambal. Kecewa, gue banget. Sebel bingit deh. Hikh!" Jagoan, alias tokoh siluman itu, merasa perasaannya, terombang ambing, simpangsiur, dikacaukan, diobrak-abrik, oleh ada deh.
"Widihh! Ternyata siluman punya perasaan juga yaa." Gerakkan tak terduga, dua kepala siluman saling melotot, lepas dari tubuh mereka, duduk di kursi masing-masing.
Dua kepala, bergerak serentak ke sudut lain. Dua kepala terlihat saling membisikkan sesuatu. Maaf, hamba tak bisa mencuri dengar. Agak sulit mencapai imajinasi penulisan, dari dialog keduanya.
Sekonyong-konyong. "Oalla? Ehem. Bisik-bisik apa ya. Jadi kalian di sini. Ngumpet dari akyu (aku). Halah-halah, sedang ngobrol apa?" Menyembul dari lantai, segitunya seolah-olah syantik (cantik).
Sepasang siluman mendekat. "Duli, paduka ratu, selalu." Wuss! Terbagi beberapa bagian tubuh itu. Â