Mohon tunggu...
Taufan S. Chandranegara
Taufan S. Chandranegara Mohon Tunggu... Buruh - Gong Semangat

Kenek dan Supir Angkot

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Antimitos

31 Juli 2024   21:42 Diperbarui: 31 Juli 2024   22:18 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dia, imannya terlihat dari kebijaksanaan perilakunya senantiasa memberi cinta kasih nan tulus dalam mandat tugas-tugasnya. Dia selalu bertanya pada waktu, senantiasa, memberi tanda-tanda jawaban dari pertanyaan, sebagai data melihat wacana di antara simpangsiur topeng-topeng.  

***

Suluk Ranying Hattala Langit

Semesta lahir. Semesta mati.
Telah ditentukan ketika engkau dilahirkan. Menjadi suci oleh tugas-tugasmu dari kahyangan. Kedewataan senantiasa menerangi perilaku suri teladan.

Kahyangan hanyalah jalan lurus menuju kesemestaan bagi kemuliaan mandat telah terpilih sebagaimana kehendak Kedewataan.

Teknologi ataupun sains supergaib pun hanyalah nuansa sugesti makhluk hidup, kecanggihan terbatas pada logika matematis terhitung pasti. Batas mati ataupun hidup.

Menjaga nuranimu tetap bening, para malaikat senantiasa bertugas bergiliran. Segala risalah tentangmu, tak satupun tahu ketentuan Kedewataan.

***

Sorak-sorai meneriakan namanya. Gegap gempita tak penting lagi, dari para sosok palsu itu, para pengecut hanya berslogan saja, manggut-manggut puja puji asal dia senang, asal dia senyum, asal dia gembira atau merasa terhibur.

Situasi tak dapat diduga siapa lawan siapa kawan, hal biasa bagi dia, tak bisa di prediksi. Mungkin, dia, disebut tekno sekaligus sains Ilahiah, menerima tugas, menjalankan kewajiban, sensibilitasnya sejak titisan awal takdirnya.

Dia tetap pada sikapnya. Tak bisa dibeli oleh nilai setinggi apa pun. Baginya, pujian adalah pembunuhan karakter peranan tingkat pertama, secara pelahan-lahan, namun pasti.

Dia, sadar betul, di lini waktu kapan saja di mana saja. Benturan akan terjadi, semua, siapa pun berpihak padanya akan mundur secara pelahan merata. Jika dia, tak memenuhi target dari suatu pola massal di satu serikat para kepentingan.

Dia paham betul, pendukung akan berbalik, mungkin saja menyerang, mungkin saja memaki-berhujatan, massal. Bagi dia, fakta di realitas lebih penting, menimbang, tak sekadar menuruti pihak-pihak pendukung, tentu, masing-masing punya tujuan, kepentingan tersamar.

Dia sangat saksama, akurat dalam melihat situasi sebelum amar putusan dia umumkan. Kemaslahatan khalayak baginya adalah kedaulatan utama, dari apapun di sekitarnya.

***

Pengkhianat, biasanya, memakai baju paling indah, tersenyum paling manis, cengar cengir bermuka dua bermacam ragam, bunglon.

Menyelinap di antara pendukung menyerupai, the invisible hand, amatiran, mudah dibaca, lewat penggayaan diri atau komentar di kolom media lini massa. Dia, telah menerawang pertanda itu, terlihat di bawah cuaca terang benerang.

Tak ada kata lain, tak ada cara lain bagi dia, selain tetap waspada, dalam situasi apa pun. Kekuasaan, bisa berbalik menerkamnya, seperti serigala lapar, dia, siap sudah, melakukan perlawanan, bagai harimau terluka, jika terdesak, namun, dia berjanji pada dirinya untuk tidak membabi buta, agar berkat Ilahi telah diwajibkan, tidak merubah dirinya menjadi keledai buta.

Jika situasi masih dapat dikendalikan dengan satu keyakinan dari satu keputusan di antara sejumlah usulan keputusan. Dia akan memilih keyakinannya untuk memutuskan, itu kepiawaiannya untuk menolak proposal konflik tak berguna.

***

Dia, mumpuni mengendalikan diri pada laku dalam, di ranah nurani bening, sangat penting, di sana akalbudi, sains, tekno Ilahiah bermukim, selama ini, telah berulang kali menyelamatkannya, dari deraan dukungan palsu di slogan-slogan, yel-yel pujian itu, menyimpan pisau lipat bermiliar kepentingan, dari manusia terdekatnya sekalipun, dia tahu itu.

Dia, sangat piawai membaca tanda-tanda, langkahnya sulit diterka lawan. Segala cuaca telah dilaluinya dalam badai terdahsyat sekalipun, meski dia tetap tampak tenang, seakan-akan lemah, namun sesungguhnya, dia sangat terang dalam membaca situasi, melihat jendela-jendela, pintu-pintu di setiap sudut tergelap sekalipun, siapa boneka penyusup, siapa bukan. Tak satupun lawan atau kawan, publik pendukung, mengetahui siapa dia sesungguhnya.

Kapan dia memutuskan, kapan dia memberi pernyataan menyerang dalam diam di tengah keriuhan suku kata di antara parodi beterbangan, gerakannya sungguh, Sukma Ning Jagad Batara. "Ting!" Bak metronom peradaban di sunyi, di tengah badai sekalipun, siapapun, berpihak atau tidak, takkan pernah terasa bahwa keputusan telah disiapkan, serangkaian serangan telah berlangsung sebelum di umumkan, meski tampaknya mendadak. Namun, sesungguhnya tidak.

***

Sebab dia dalam laku sukma, dalam tenang senantiasa, serangannya selalu tepat, mematikan, di jantung konflik di bawah arus, membuat publik terkesima tak sempat berdecak kagum, sedikitpun, hanya terperangah, seperti selo mengalunkan ombak di lautan, mengendalikan angin dalam desir tenang bertenaga kuat.

Meliukkan kekuatan bagai tarian tradisi, gong, dalam gending bedoyo ketawang, kain terjuntai mengombakan angin, menepis hipokrisi dalam lipatan tersirat di kertas kepalsuan. Gemulai tanpa terasa, hipotesa telah ditidurkan, suratan telah menjadi tembang mengalunkan kaidah amar putusan telah siar, di gelombang frekuensi kecepatan kedip di ketepatan.

Mencuri waktu, di saat, di sela waktu slogan pujian palsu, di antara yel-yel sumbang kepalsuan, sosok palsu, tercekik serak oleh tangan mereka sendiri. "Kegk!"

Tujuan, dukungan palsu takkan sampai pada ketulusan, sebab kesetiaan tak selalu tertampak, gaib, dalam bening akal budi. Jika dukungan berharap imbalan menjadi pujaan, tanpa kasih, sekadar protagonis ter-antagonis, scene by scene, agar di sorot media massa. Kuncup bunga pasti layu, sebelum berkembang.

Para sosok palsu pendukung dia, serentak, memakai cawat di kepalanya masing-masing, menyembah batu oportunis, malu-malu kucing "Meong! Meong!"

Lantas, dengan serta-merta, para sosok palsu, menembak kepala mereka masing-masing, mata mereka keluar dari kepala masing-masing, melihat diri mereka sendiri, telah, menjadi mesin pengkhianat, tanpa daya untuk hidup kembali, telinga mereka lemas, malu mendengar suara dari mulut mereka masing-masing.

Kaki mereka lari tunggang langgang meninggalkan tubuh masing-masing, tangan mereka terus menempeleng mulut mereka masing-masing. Pepohonan, rerumputan, mengeluarkan api, membakar mereka. Langit mengeluarkan kilat dalam dentuman tak terhingga, membakar segala, ada, bentuk-bentuk kepalsuan renda-renda itu, memusnahkan kekenesan, bergincu, berseragam kemasan jas-jis-jus, berdasi kupu-kupu belang-belonteng, terpanggang bara, di asap hitam "Meeoong!"

Yel-yel, membekap mulut mereka sendiri. Slogan-slogan, mencoret tulisan mereka sendiri, meledak, berputaran tersapu lautan. Lenyap, senyap.

***

Suluk Begawan Ismaya

Air mengalir seperti lahirnya pemberi hidup kesegaran. Menyuburkan benih-benih bermanfaat bagi makhluk hidup di bumi. Air tak pernah berdesakan berebutan tempat.

Mencapai kesadaran musim antara waktu tempuh. Sebab air telah ada mengalir di kitab-kitab kejadian Kesemestaan. Sebab air bukan makhluk jejadian pemuja kultus kasat mata.

***

Dia, menyaksikan semua kejadian itu, dalam khusyuk, tafakur, takzim. Dia terus berzikir.

"Kesucian kasih sayang, cinta amanat langit, tak perlu slogan-slogan ataupun yel yel polusi sakit mata, kata-kata." Itu, maklumat kahyangan untuk ruh bening nuraninya. Dia, tak pernah merasa menjadi sosok penting, bagi dia hidup wajib berbagi, rencana pasti, bukan wacana-protokol proposal.

Dia senantiasa mengawasi, di antara sulapan angka jungkir balik di bolak-balik. Samaran lawan-lawannya, tak berani muncul, berhadapan, hanya berani membuat teror berkelamin ganda, menjadi tukang catut picisan, berkoar-koar seperti singa ompong mengaum di pandang tandus.

Dia, terus melangkah, pasti, dengan keyakinan dari-Nya, bersama cinta, kasih sayang, cita-cita di sukmanya, menaburkan benih ke-angkasa. Pertumbuhan semakin subur.

Taman hati penuh bunga. Kunang-kunang menyala terang beterbangan bak superbintang kejora. Kupu-kupu menari cantik. Seruling bersimfoni mazmur indah taman hati.

Para pengkhianat jadi bara di neraka membakar dirinya sendiri. "Glar!" pecah jadi belatung, begitu seterusnya sepanjang musim semesta.

***

Jakarta Kompasiana, Juli 31, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun