"Melempar pedang seenaknnya, kemana saja sesuka hati. Enggak marah boleh? Tapi jangan berkicau ngaco kemana arah sesuka angin dong." Suara tanwujud memantul di hutan jati itu.
"Suaramu seperti lelaki, berkelebat seperti sosok perempuan. Siapa pengecut. Kau! Bukan aku. Mana batang hidungmu. Nongol!" Geram membuncah, namun, apa daya. Tak jua suara itu muncul.
"Hihihi. Aku wanita bukan perempuan. Aku lelaki bukan pria. Aku ada di depan kelopak mata jelekmu. Hihihi." Menggema cekikikkan.
Memusatkan jiwa menempuh jarak mengindra sekeliling. "Hmmh! Di situ rupanya." Cekatan pisau kecil beterbangan berkilat-kilat.
"Sring!" Logam menepis sukma, membalas serangan. "Oh! Maaf ya. Tuh! Pisaumu nyangkut di reranting.
"Dasar Ngeselin! Nih! Lagi! Tuh! Lagi!" Kali ini serangannya tak henti-henti, sambung menyambung.
"Aduh!" Mengejutkan.
"Mati kau!" Girang.
"Wow! Enggak! Kupu-kupu tak bersalah. Mati Tuh!"
Agak sulit menduga. Ini pameran latihan perang-perangan atau pertarungan adu sakti sungguhan. Main-main atau serius. Kalau menilik serangan keduanya, tampak sakti berimbang. menyasar titik serangan mematikan. Waduh!
Namun salah satu dari dua sosok itu, tak tampak sosok aslinya. hanya bayang-bayang gerakan silat sana-sini berkelebatan saling menyerang. Namun, tampaknya belum puncak dari kesaktian masing-masing. Gawat! Bakal gonjang-ganjing dunia siluman Jin, sekalipun.
Serangan super cepat mendesak berputar puting beliung, dua sosok sakti tengah adu canggih, tersedot dalam pusaran misterius, keduanya tak menduga serangan itu bakal terjadi.
Apa boleh buat, sombong kadang-kadang perlu juga nih, dibenak dua sosok itu. Melesat dua cahaya ruh, dari tubuh dua sosok. Sang ruh menyelamatkan tubuh masing-masing sekilat melompat terbang keluar dari pusaran itu.
Suara cekikikan mengangkasa. "Hihihi belum aku tiup, kalian jungkirbalik seperti bebek babak belur".
Seraya meletakkan tubuh di angkasa, kedua ruh segera kembali ke badan masing-masing. "Jin bego!" Serentak.
"Hihihi kalau aku bego, why you kesedot twister ane?"
"Dasar majenun! Ngapain! Siang bolong nongol di bumi".
Â
Kejadian demi kejadian di ceritakan oleh si Jin, fokus, rinci, saksama, hanya dipahami sekaligus bisa didengar oleh kaum sakti saja. Dunia manusia takkan paham bahasa kaum sakti, kecuali bersedia berpindah ke-dimensi kaum makhluk itu.
Gemuruh kasus tak berbudi pun hanya bisa dilihat di semesta kaum sakti itu pula, takkan terlihat oleh kasat mata, sekalipun, deteksi mesin de javu alias magic machine, versi tercanggih sekalipun.
Nah loh, kalau sudah demikian, takkan mampu mengejar gunungan gaib berlarian membawa cerita di angkasa, sekalipun meminjam ilmu abakadabra mabuk kepayang dari bukit pelangi, atau dari negeri 1001 malam, atau lagi, dari benua manapun, termasuk planet apapun.
Sebab cerita terus bergulir dalam kisah-kasih antar bintang, mesra atau tidak, hitam atau putih, lagi-lagi hanya ilmu kelas dewa mampu melihat, membaca tanda-tanda, mencegah sulapan kelabu malam, siang ataupun sore, berupa abstraksi ataupun realisme simbolis.
Hanya ada satu sosok bijak mampu menyelesaikan soal-menyoal serumit apapun dalam kisah kultural edukatif, ialah, Ki Lurah Badranaya, atau sang Rembulan, pengayom negeri Tumaritis, termasuk Raja hingga silsilah Pandawa, seluas pemerintahannya.
Ki Dalang, Memutar gunungan dalam kilatan cahaya estetis berjuta sentir membayang di layar jagat buana. Melanjutkan kisah cinta, pedih-perih, gembira, suaka duka, suaka cerah ceria. Cerita senantiasa berakhir menjunjung kasih sayang seluas langit.
***
Â
Jakarta Kompasiana, Juli 25, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H