Tidak harus menyalahkan siapapun. Penderitaan bagian dari lahir, ada di antara banyak kebahagiaan. Kau ingat bagaimana bahu membahu, kau menyelamatkan aku dari satu himpitan tak terpahami. Derita di baliknya harapan, meski kadang terbolak balik. Ada banyak rahasia tak terpahami, lantas dengan enteng oh itu takdir.
Percaya pada satu hal tak terpahami lebih baik, kalau boleh disebut abstraksi dari realisme karena hidup telah tercipta, kadang kala kembali ke awal atau ke akhir, meski kemungkinan stagnan, ogah bergeming dari satu keyakinan, lantas enggan menghargai sesuatu berbeda ketika kau anggap bukan milikmu, kitalah harapan dari pilihan-pilihan.
Mengapa harus memilih. Karena itu harapan, di dalamnya ada notasi rasa irama kehidupan telah dipilih, disadari atau tidak sudah dilahirkan dari sebuah rahim alam raya, oleh sukma transendental dari jiwa penuh harapan ketika hendak dilahirkan, siapapun itu, tak satupun bisa memahami sebelum menghirup hamparan oksigen realitas hidup.
Dari napas tubuhmu terasa kau belum bisa menerima, bukan salahmu, bukan pula situasi ketika itu. Bukan menyoal kalah atau menang. Kau tahu, cinta menyelamatkanmu, karena kebahagiaan ada menunggu. Simaklah dengan saksama ada banyak cinta menunggu kau kembali. Memahami hidup, menyentuh permukaan air lalu menggelombang lembut.
Tak terduga, di sana rahasia itu, senantiasa menjadi perdebatan tak penting benar sesungguhnya, tapi kau selalu saja mengulang pertanyaan ketika keputusan harus dipilih, jeda waktu sebelum detik menentukan, kita sama-sama tahu ada kewajiban harus diselesaikan sebaik-baiknya menghindari kesalahan, sekalipun sebesar biji zarah.
Kita tidak pernah tahu sebelum kejadian, sekalipun telah sepenuh jiwa kehati-hatian, menggunakan tekno modern, melekat di tubuh perangkat pelindung keselamatan sistem terpadu hingga satelit pengamat situasi. Setelah kesekian kali berulang-ulang perjalanan melaksanakan kewajiban penyelamatan kemanusiaan mencapai abstraksi keadilan.
Masih tersimpan satu kemenangan kenangan, kau menjepit kepalaku memencet hidungku kuat-kuat sulit bernapas, kesal, karena aku pura-pura mati hihihi, setelahnya bunga-bunga di taman hati bermekaran berkejaran nyanyian capung bersulih kupu-kupu di antara bebungaan, sekalipun pilihan menentukan lain, itu bukan kehendak kita kan.
Setelah waktu menyimpan mata sebening itu, kelopaknya mengerjap-ngerjap pelahan. Kau pikir aku girang, tidak. Sukmaku menyala melompat keluar. Pintu putih terbuka lebar membuncah cahaya sepenuh ruangan gemerlapan, alamak spekta kali rupanya. Siapa mereka berkilauan bersayap lebar indah nian.
Aku keluar ruangan memberi perintah "Batalkan penyerbuan dia sudah kembali ..." Seluruh pasukan pelindung menarik diri dari perbatasan. Panorama konfigurasi langit menyambut kemenangan gilang gemilang. Aku kembali ke ruangan berpintu putih gemerlapan. Suara itu aku mendengarnya.
"Mama ..." Â Origami di tangan si bungsu.
***
Jakarta Kompasiana, Desember 25, 2023.
Salam NKRI Pancasila. Banyak hari baik setiap hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H