Slogan aksioma sosial budaya, melangit peradaban. Ekomomi dunia perdagangan antar kehidupan nun di belahan benua tak terlihat pun mampu saling menyapa lewat kotak layar per.inci, dalam istilah social technology global culture, anggapan hidup meng.global terasa seolah-olah menyeluruh, sehati. Apa benar begitu. Yakin?
Setara pendapatan perkapita. Meskipun secara global sama sekali tidak. Karena iklim berbeda, tolok ukur kesepahaman pun berbeda-beda pula. Menanak gandum berbeda dengan mananak nasi, meskipun kedua jenis tetumbuhan itu terlihat serupa pada kebutuhan pangan individual, kelompok, ataupun organisasi pangan dunia.
Sungguh, tetap berbeda. Tak mungkin bisa disamakan, meski ujung-ujungnya akibat ketentuan pola kebutuhan pangan tubuh, ataupun pangan rohani antar kepentingan, maka kesamaan dari perbedaan bisa saja sih disamakan, dilakukan, oleh sistem tertentu secara semena-mena, akibat tabulasi janji kekuasaan pada sejumlah niskala kepentingan.
Eskalasi egomania dunia di ranah global, setiap detik di siklus waktu berlari, terus menerus saling tarik menarik ataupun tarik ulur, sesuka pola laku modernisme kultural habitat hidup manusia mengejar canggih. Sikap hidup filosofis dianggap lawas, tidak taktis strategis-hanya mengejar kebutuhan natural hidup manusia belaka, ehem.
Sekaligus akibat ketakutan pada ketertinggalan tak mencapai etape lebih awal, mungkin, akibat anggapan modernisme-mampu menepis ke.ku.no.an naturalisme, apabila berpegang pada prinsip hidup natural tradisi; memetik buah dari kebun sendiri, ataupun bertani, alami bersubak-subak air bercucuran dari ketinggian keluhuran budi.
Dunia ekosistem, natural memberi pernyataan terbuka, sibaklah mata air maka suburlah tatakelola kehidupan, tak perlu metabolisme sintetis penyubur tanah sebab dunia di pijak telah dilengkapi berbagai kebutuhan vitamin-mineral, ada, sebagaimana telah tercipta sejak awal-Nya. Hanya memerlukan revolusi kejujuran.
**
Ketika kaum filosofis menemukan bentuk komunikasi sosial, dunia bagai baru terbangun dari tidur, mengalirlah peranan kehidupan mencapai tujuan dari ambisi makhluk-hingga manusia. Mazhab berkembang dalam kumparan pertanyaan sebagaimana jawaban, ataupun sebaliknya. Matahari sejak mazhab alam purba tetap bersinar seperti biasa.
Kalau ozon bolong, konon, karena ulah modern kultural dari kehidupan bernama budaya manusia, akibat dari berbagai pola laku kimiawi atom sintetis hingga peradaban industri-polusi abakadabra cuci tangan tak punya keberanian mengakui, sebagai sang pelaku, untuk berani memperbaiki akselerasi keselarasan oksigen lingkungan lanjutan.
Tapi, keberanian untuk mengakui sebagai sang pelaku, lebih memilih ngumpet di kolong meja. Bikin repot petugas negara penegak keadilan hukum demi lestari hijau negerinya. Sekalipun fakta lapangan jelas sumbernya, petugas negara harus ekstra waktu mencari fakta pendukung valid, untuk bisa menyeret tersangka ke meja hijau.