Mohon tunggu...
Taufan S. Chandranegara
Taufan S. Chandranegara Mohon Tunggu... Buruh - Gong Semangat

Kenek dan Supir Angkot

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Esai dari Pinggiran: Koalisi Burung Merpati

31 Agustus 2018   13:58 Diperbarui: 31 Agustus 2018   16:38 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melihat nurani diri, juga catatan untuk hamba, kalimat itu tak tampak kejam malahan terasa adem. Ada sarana etika di badan kadang-kadang mencoba menolak, mungkin sebab akibat entah apa. Kalaupun menerima wajib ikhlas. Dilarang dongkol pada diri, akan menghambat metabolisme positif, bahagia pas saja, keduanya tentu relatif.

Mungkin, bisa juga akibat diluar kesadaran, menolak melihat nurani diri, akibat suatu pengetahuan makna menekan tubuh, dari pikiran tertekan, berkecamuk, euforia ecstatic bla bla, atau bahagia ham him hum atau pun menjengkelkan hua hua, mungkin saja kan. Hidup konon serba mungkin, belok kanan atau kiri kembali ke hati, konon sih begitu.

Melihat nurani diri, mungkin, seakan-akan bersifat tertekan meskipun berbeda arti dengan kata intimidasi, tentu terasa tetap tak nyaman kalau tak ikhlas. Seakan-akan imaji terbang mengarungi cakrawala pengadilan langit. Bagai beragam mata, dari berbagai macam warna seperti bersabda dihadapan, saling menatap seolah-olah berseteru, meskipun, mungkin, sesungguhnya tidak.

Lantas ada kiasan, lempar batu sembunyi tangan. Dunia modern menyebutnya 'teror' diikuti istilah, konspirasi. Biasanya lagi, ini perumpamaan loh, meminjam istilah dunia intelijen standar umum, setelah terjadi saling intip, penyamaran, serupa memata-matai, lantas menyusup. Nah loh. Serentetan istilah sederhana di belakang kalimat ini, telah ada pada era jaman purba sejak manusia mengenal dasar-dasar social culture-the human civilization, berkembang menjadi imperium-imperium, kata sebuah kisah loh.

Lantas dunia kini, modern katanya, menyediakan sarana pendukung untuk hal serupa di atas itu, sebut saja teknologi, antara lain, satelit pengendali segala hal maya, menyimpan data mikro maupun makro, semisal, deteksi bencana iklim, juga berfungsi menjaga keamanan negara pemilik satelit itu atau keamanan global, semisal, memantau sedini mungkin kemungkinan serangan alien, kalau ada.

***

Foto Dok Kompas
Foto Dok Kompas

Breaking News: Ucapan Selamat dari Hamba.
"Baik tunggal maupun ganda bulu tangkis-all Indonesian final, medali emas di tangan. Asian Games 2018. Bravo! Indonesia! Indonesia! Jumlah keseluruhan sudah lebih dari 89 medali, hingga tulisan ini dirilis. Salut! Kagum! Indonesia! Indonesia!"

***

Foto Dok. Kompas
Foto Dok. Kompas
Namun, seumpama nih, mau dihitung mundur ke era kepurbaan (modern era masa itu) peradaban makhluk manusia. Konon, pada suatu waktu bangsa Sumer kuno bermukim di Mesopotamia Selatan, mencipta tulisan, aksara parsial adalah tulisan bangsa Sumer paling awal, oleh sebab pusing tujuh keliling, bagaimana, mencatat berbagai data publik begitu melimpah ruah di zaman kejayaannya, sejak kurang lebih loh 3500 SM.

Aksara parsial, semacam sistem tanda material melambangkan jenis-jenis informasi, berasal dari aktivitas terbatas, mencatat data secara matematis, konon lagi, kurang lebih mirip notasi musik, kira-kira. Aksara parsial tidak bisa digunakan untuk merangkai puisi atau bahasa cintrong-cintrong-an, seperti aksara penuh atau aksara latin. Ini sedikit mengutip cerita dari sebuah kisah, kalau salah mohon di maafkan ya.

Jadi sistem pengolahan data bangsa Sumer awal ya dengan menuliskannya dalam simbol aksara parsial, melengkapi pustaka informasi. Meskipun otak manusia mampu menyimpan miliaran data serba ajaib. Melebihi sistem komputerisasi apapun. Misteri keajaiban otak manusia belum terpecahkan. Nah! Penting menjaga kesehatan otak. Kalau kelebihan beban malah bisa ketiduran loh. Kata cerita dari sebuah kisah.

Satelit, misalnya, tak hebat-hebat amat, cuma pengganti energi bersih dari dalam, menuju pembacaan dunia fisik luar tubuh, dulu lewat pelatihan olah kanuragan, meditasi prima spektakuler, pelatihan mempertajam kepekaan membaca tanda-tanda rasional, menyerap data, lantas menyimpan di otak, kemudian mengeluarkannya, lewat ingatan, imaji, visual, serupa melihat televisi samar-samar, bangsa Asia kuno cikal bakal metode itu, menurut cerita kakek hamba almarhum. Lihat deh temuan seni arkeologis, entitas Borobudur. Adakah manusia kini mampu membuat candi seindah itu. Bersifat filosofis, meditatif, nalar sains-tekno purba, manual.

Tak ada hal baru, kalau merujuk, menyoal, art, sains atau pun tekno modern-purba bolak-balik. Hanya melanjutkan sejarah pernah ada, dengan pemecahan estetika kini, baik di telusur secara estetika makro maupun mikro, sekalipun dalam hal peperangan dunia lama maupun dunia baru, hingga perang bintang, the global war.

Apa iya. Hamba kok nggak percaya ya bakal ada perang bintang hehehe... Bagai main games 'aje' (the war of toys) lantas dimana hebatnya, tak ada hal hebat jika bersifat, menghancurkan. Kecuali terjadi 'Big Bang' seri ke-2, itu baru hebat.

Konon lagi nih, akibat Big Bang lanjutan, entah kapan, bersifat serupa dengan Big Bang ke-1, kalau terjadi, namanya juga berandai-andai secara imaji estetis, konon pula akan lahir semesta baru, akibat pola menyatu dari proses zat-zat tak serupa apapun, mungkin,  bersifat atom-isme itu. Apakah makhluk penghuni planet bumi siap menghadapi hal gegar budaya itu.

Kalau mau menimbang secara bijaksana di era sekarang ini jarang ada makhluk manusia berani berhadap-hadapan, man to man combat, kecuali 'Pasukan Khusus' atau 'Pasukan Profesional Sunyi' milik Indonesia, menurut kabar burung, pasukan khusus itu bisa disebut elite, pasukan elite belum tentu pasukan khusus, karena bersifat khusus.

Pasukan khusus, dimanapun di dunia keberadaannya samar-samar alias sangat rahasia. Pasukan Khusus Indonesia, kostumnya keren, tapi ngeri, termasuk salah satu pasukan khusus disegani di dunia. Amin. Pasukan itu siaga selalu, menjaga Sang Merah Putih, netral, tidak berpihak pada golongan apapun, manapun. Hamba terharu, bangga membaca ini: Militer Indonesia di Mata Jenderal Veteran USA.

Pasukan Khusus Indonesia atau Pasukan Profesional Sunyi-the silence combat, hamba membayangkan bagai satria dalam cerita silat. Fiksi ilmiah dunia seni kreatif, secara prosais bisa disebut 'the hero from an era' berjuang demi kebijaksanaan umat penghuni planet bumi atau pun semesta lain, diperlukan satria suci hati putih bersih bening nurani, seperti khazanah dunia komik-komik mampu menciptakan lompatan kuantum matematis di otak pembacanya, terbang seperti dalam cerita silat.

Demikian kiranya sekadar manuver pembuka dari artikel akan tertulis. Jreng! Jreng! Namun, semisal, melihat nurani diri, menjadi telaah diri, akan terasa teramat positif juga bijak. Bermula dari muara kalimat itu, lantas menjadi lentera di wacana hati bersifat segera, sekaligus, wajib rela membuka citra hati, melihat ke masa lampau hingga kini, baik positif maupun negatif, sebagai sebuah pelajaran, juga bagi hamba. Jreng!

Lantas bagaimana dengan dialog dua burung merpati ketika mereka saling marahan karena cintrong, taruh kata bunyinya begini "Kuk kuk kamu tadi bersama siapa. Darimana?" Hohoho. Suatu kalimat tanya bermakna, bisa nyaman bisa tidak di telinga, seumpama terjadi pada dua sejoli burung merpati seakan-akan sedang saling ngambek-ngambekkan itu. Meski bentuknya mungkin bisa dibilang kalimat tanya, karena ada tanda tanya.

Namun sifat dari intonasi nada, mungkin, tersirat semacam cemburu karena cinta, semisal, dalam bentuk pertanyaan. Bagaimana kalau menjadi seperti ini. "Kuk kuk kamu tadi bersama siapa. Darimana!" Perubahan tanda tanya menjadi tanda seru seakan-akan dua perwatakkan peranan, sesungguhnya mungkin satu cinta. Ini kalau mau didalami dari sudut pandang seni komunikasi, dramaturgi loh.

Akibat, dua hal tanda baca berbeda maka masalah bagai awan-awan paradigma. Barangkali, bisa menjadi berbagai hakikat atau makrifat, mungkin saja kan, bisa menjadi sumber perdamaian menuju cita-cita bersama di planet bumi, kembali ke hati. Melihat senja seakan cemburu pada pagi karena keduanya amat mencintai planet bumi. Lantas, apa akan terjadi dibalik dua kalimat berbeda tanda baca itu. Hamba tidak tahu.

Sebab, barangkali, praduga bisa menjadi berbagai acuan di pikiran masing-masing dari kedua burung merpati itu. Lantas bagaimana dengan burung merpati lainnya. Sayangnya hamba belum bertanya pada burung merpati lainnya.

Meskipun, sementara, mungkin, manusia tahu, bahwa burung merpati pun hidup berkelompok-kelompok, seperti terlihat di Piazza San Marco (Venice, Italy) misalnya. Apakah mereka juga bisa saling marahan karena berebut cinta, atau, kasih sayang, masing-masing kelompok burung merpati itu.

Rianglah para burung merpati berterbangan bagai penari indah, menukik, mematuk-matuk pakan hambur. Barangkali, kalau mau membayangkan secara imajinatif, kelompok burung merpati di taman itu, sebenarnya tidak berebutan seperti dibayangkan. Justru burung-burung merpati itu, turun dari terbangnya dengan sangat indah, melampaui keindahan lukisan Leonardo Da Vinci di logika, mungkin kan.

Burung-burung merpati itu secara tertib berkelompok-kelompok seolah-olah ber-konfigurasi, bahkan terlihat manja nian, indah tak terperi, bagai puisi-puisi penyair Sitor Situmorang, anak leluhur Toba Na Sae, anak negeri telah kembali ke haribaan Tanah Toba milik tetua adat sangat ia hormati hingga akhir titik puisi-puisinya. Kelompok-kelompok burung merpati itu terbang dalam komposisi photography shot by shot.

Burung-burung merpati terus menari, rampak mematuk-matuk pakan hambur pemberian manusia. Sebaliknya manusia menikmati keindahan si burung merpati "... how beautiful scenery ck ck ck..." tengah berkelompok-kelompok, berlompatan kian kemari beterbangan dengan sayap-sayap mungil coklat muda, abu-abu kombinasi segaris hitam, di atas putih di leher mereka, bak warna putih burung merpati pos 'sang martir perdamaian' pembawa kabar akhir sebuah peperangan atau tentang cinta, kasih sayang.

Kini, burung merpati telah berevolusi menjadi tonase titanium menakjubkan, bermesin jet. Berlomba adu manuver ketangkasan di angkasa, dikendalikan pilot-pilot ahli di bidangnya. Bagai kisah pewayangan, Gatotkaca memburu para penyusup wilayah udara Pandawa. Bangga menyaksikan putra-putri Indonesia, menjadi penerbang hebat. Peace! Salam Indonesia Unit. 

Jakarta, Indonesia, August 20, 2018.
*) Terima kasih anda telah membaca artikel ini. Salam bahagia.

Sumber: Kompas  Wiki 01  Wiki 02  Wiki 03  Elite 01  Elite 02  Elite 01  Elite 04  Pinjam istilah Koalisi  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun