Mohon tunggu...
Gondo Majit
Gondo Majit Mohon Tunggu... -

Ora popo!

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mendaki, Apa yang Kaucari?

12 Maret 2014   21:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langkahkan kakimu ke alam terbuka Tinggalkan semua tirai kepalsuan --Ully Sigar Rusady

Konon setelah Nabi Adam as diciptakan, Allah mengajarinya segala macam nama-nama. Saya bayangkan, kata pertama yang diajarkan Allah pastilah "cinta". Inilah satu kata yang rumit dan sakral yang mestinya akan sulit dan wingit untuk diumbar tapi nyatanya sudah lumrah diobral dan disalahartikan. Dari "cinta", selanjutnya terbentuk kata kerja "menyinta" yang bila ditelusuri ada akar maknanya dengan berkurban, merelakan sebagian hak kita untuk mengagungkan sesuatu yang dicinta. Waduh, berat para rawuh, cinta itu!

Dari dulu saya suka segala sesuatu yang "kembali ke alam". Tapi untuk bergabung dengan para-wow!-pecinta alam, ngapunten, saya mikir-mikir dulu. Menyintai alam berarti harus memahami apa itu alam dan bagaimana memperlakukannya sebagaimana mestinya alam diperlakukan. Belum-belum saya minder duluan, belum pangkat ngaku-ngaku cinta. Saya renung-renung, niat asli saya hanyalah hendak buang hajat di gunung dan hutan. Itu pula yang saya lihat dari semangat segerombolan anak-anak tanggung mengaku pecinta alam. Tapi ini mungkin tak lebih karena nasib sial saya saja yang selalu terhindar dari bertemu pecinta alam yang sebenarnya.

Semoga ini bukan berarti nasib sial juga bagi anak istri saya kalau kemudian kesukaan saya atas "kembali ke alam" lalu saya tularkan pada mereka. Saya selalu mencari-cari kesempatan mengajak mereka untuk blusukan ke gunung, hutan, pantai, gua ... apapun di mana alam masih berarti sesuatu yang apa adanya. Setelah berkali-kali mengalami fenomena selegenje, baru kemarin kesempatan itu berhasil berlanjut menjadi sebuah petualangan. Minggu, 9 Maret 204, kami berangkat naik gunung menuju air terjun Laweyan di kaki Wilis di sebelah wilayah Tulungagung.

Hari Kamis sebelumnya, dua anak saya sudah saya pancing-pancing: yuk naik gunung, ke air terjun! Mereka menyambut dengan semangat. Hehe ... jauhkan anak-anakmu dari si kotak telepicik, maka mereka akan lebih mudah diajak menjalani hidup secara asyik. Malam minggunya tidur sejak jam delapan, bersiap mengumpulkan tenaga untuk-siapa tahu-ketemu Lorax si penjaga hutan.

"How ba-a-a-ad ... can I be? I'm just following my destiny!"

Jam tujuh berangkat dari rumah, jam sembilanan sampai di Candi Penampihan, jam setengah sebelasan, bersama teman-teman Paciwistu, kita mulai melangkahkan kaki memulai penjelajahan. Jauh di puncak gunung terlihat mendung mulai menggantung. Aduh, tidak siap mantel hujan, cemas juga membayangkan guyuran air di tengah hutan. Sedang dua anak yang kami cemasi malah tertawa-tawa. Tapi bukankah memang itu intinya; petualangan adalah perjalanan keluar dari zona nyaman. Maka memang itulah yang terjadi. Cemas-cemas yang diselingi canda tawa sepanjang jalan.

Mulai menjejak pinggir hutan, back-sound-nya sudah luar biasa. Riuh rendah gemericik air kali, suara-suara asing yang menggema di kejauhan sana ... semuanya membuat saya gatal untuk ikut-ikut latah mengutip kata-kata bijaksana. Yang langsung tersangkut di ingatan adalah Masanobu Fukuoka. "Mengapa musik menjadi sangat penting bagi orang modern?" sindir Mbah Masanobu. "Karena telinga mereka telah rusak oleh bisingnya suara-suara 'modern'. Di tengah kemurnian alam, musik tersedia melimpah di sekitar kita."

Musik itu pula yang mengiringi kami menyebarangi tujuh sungai, membungkuk-bungkuk menerobos semak, melangkahi pohon tumbang penghalang jalan, mencari-cari pegangan di jalur terjal. Semua seru-seru saja dan kamera di tangan ini tak henti-henti menjepretinya. Di ransel saya telah tersedia minyak kayu putih tapi saya emoh pakai. Yang saya tunggu adalah pacet atau lintah yang bersedia mampir ke kaki saya untuk saya tunjukkan ke anak-anak. Ternyata saya kurang beruntung. Hari ini gak ada kesempatan narsis sok berani, hihi ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun