Mohon tunggu...
Gondo Majit
Gondo Majit Mohon Tunggu... -

Ora popo!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Lord of The Ring, Fellow Slave of the Lamp

15 Maret 2014   19:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:54 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita ini telah digorang-goreng menjadi banyak kemasan, tapi yang paling membuat saya terkesan tetap versi yang pertama kali saya baca: Nasrudin Hoja, tokoh yang miskin, lugu dan bodohnya ampun-ampunan. Kurang lebih begini ceritanya: dikisahkan pada suatu malam gulita, Nasrudin Hoja terlihat sedang membungkuk-bungkuk di bawah terangnya lampu jalanan.

"Nasrudin, sedang apa kau itu?" tanya temannya keheranan.

"Mencari cincinku!" jawab Nasrudin sambil terus mencari-cari.

"Bagaiman ceritanya cincinmu bisa hilang di sini tadi?" tanya temannya lagi. Nasrudin menjawab sambil lalu, "Seingatku aku taruh di meja rumahku, lalu hilang!" Tentu saja teman itu terperangah. "Lalu kenapa kau mencarinya DI SINI, bukan di rumahmu?!"

Nasrudin menegakkan badannya dan memandangi temannya tak kalah heran. "Minyak lampuku habis, kawan! Bagaimana aku bisa mencari sesuatu di tempat gelap seperti itu?"

***

Saya terkikik-kikik sendiri ketika pertama kali membaca anekdot itu. Itu sudah dulu sekali, di zaman buku-buku "mati ketawa" sedang laris-larisnya. Kikikan saya terasa nikmat, lepas dan menyegarkan pikiran. Dasar bodoh, umpat saya dalam hati. Sudah jelas hilang di rumah kok dicari di jalan hanya karena tempatnya lebih terang. Jaka Sembung lagi ngeblog, gak nyambung, Blog! Kalau itu kejadian nyata, mungkin saya sudah terguling-guling memegangi kram perut karena menahan tawa.

Anekdot itu kemudian berkali-kali menyelinap kembali di ingatan saya. Tapi setiap kali muncul, lucunya semakin lama semakin memudar. Dari tawa lepas menjadi senyum simpul, peringisan, lalu entah kenapa jadi tidak lucu sama sekali, bahkan menyisakan kesedihan. Bukan karena usang dimakan waktu, tapi lebih karena bertambahnya usia, ada rasa eman untuk langsung menelan apa saja. Hidup ini harus dinikmati dan saya lakukan itu dengan kadang kala bersengaja angin-anginan di tempat teduh sambil merenung-renung seperti kambing yang mengunggah isi temboloknya untuk dimamah biak kembali.

Nasrudin Hoja dengan telak telah menyindir kita semua. Tawa saya dulu telah berganti menjadi senyum karena kebodohan yang memancing tawa itu tak lain adalah kebodohan saya sendiri. Cerita kebodohan Nasrudin membuat saya terpingkal-pingkal. Tapi setelah sadar bahwa cerita itu adalah wara tersandi atas kebodohan saya sendiri, kecut juga rasanya untuk menertawakannya.

Cerita Nasrudin itu adalah tentang rangkaian tujuan, alat dan cara. Mestinya, tetapkan dan utamakan tujuan, barulah cari alat dan cara yang tepat untuk meraihnya. Tapi, seperti juga Nasrudin, betapa sering saya terlalu terpukau dengan suatu alat lalu berusaha keras menguasai tata cara penggunaannya dan mengabaikan apa tujuan alat itu dan bahkan apa tujuan semula mencari alat itu. Tak jarang saya pun memilih cara-cara tergampang dan tak ambil pusing apakah cara itu benar-benar bisa membawa saya ke tujuan. Dan tujuan, apakah itu tujuan? Tujuan saya ternyata tak lebih dari mengumpulkan alat sebanyak-banyaknya dan merumit-rumitkan cara secanggih-canggihnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun