Lama aku termenung di dapur rumah ibu.
Rasanya ingin sekali aku menumpahkan semua rasa yang berkecamuk didalam dada.
Sedih, bingung, bimbang, khawatir, semua bercampur menjadi satu meluluh lantakan tulang dan persendianku.
Aku hanya bisa duduk meratap mengingat apa yang terjadi pada istri tercintaku.
Saat ini istriku di Rumah Sakit.
Dia selalu mengerang kesakitan karena proses persalinan
Pihak rumah sakit A dikota kami merujuk untuk membawa istriku ke Rumah sakit B yang lebih besar.
Katanya istriku sudah pembukaan delapan, namun karena ketubanya kering, Pihak rumah sakit A tidak sanggup untuk menangani penderitaan istriku.
Apa yang di katakan dokter, itu sangat cukup untuk membuat perasaanku kalut, dan cemas.
Saat proses persalinan istriku di tangani oleh tim dokter rumah sakit B,
Rasa cemasku bukan menghilang, tapi malah bertambah.
Mereka mengatakan, tulang kemaluan istriku terlalu kecil, hingga tak mungkin mengeluarkan bayi secara normal.
Salah satu cara untuk bisa mengeluarkan sijabang bayi, tidak ada lagi jalan selain dengan bedah caesar.
Aku merenung....
Bukan berarti aku tidak setuju istriku dibedah, Justru aku ingin apapun dilakukan dokter untuk segera mengeluarkan anakku dari perut ibunya.
Tapi aku bingung, saat harus membayar uang muka setengah dari seluruh biaya operasi.
Yaitu Tujuh Juta Rupiah.
Artinya aku harus menyetor uang sebanyak Tiga Juta Setengah, agar proses operasi bisa dimulai.
Sedangkan aku, tak punya uang sebanyak itu.
Aku membawa istriku ke rumah sakit hanya bermodal nekat dan uang sembilan ratus ribu.
Penyebabnya, di tempatku sudah tidak ada lagi dukun beranak.
Sebuah tangan kurus mengusap rambutku
Lamunanku buyar, aku langsung mengusap air mata yang tak sadar meleleh di pipiku.
Ibuku menyodorkan sebuah kalung mas, padahal kalung tersebut adalah satu-satunya barang berharga yang tersisa dari kenagan almarhum ayahku.
" mudah-mudahan ini cukup untuk uang muka ".
Aku menangis..
Aku menerimanya dengan hati remuk
Karena tanpa surat, kalung mas pemberian ibuku hanya dihargai dua juta.
Tanpa berpikir panjang, setelah aku mengantongi uangnya, aku bergegas ke rumah sakit.
Tiba di rumah sakit, yang pertama aku tuju adalah loket pembayaran.
Namun uangku tidak diterima, karena jumlahnya memang masih kurang dari jumlah yang harus aku bayar.
Darahku langsung naik, rasanya aku ingin sekali mengacak-ngacak seluruh ruangan rumah sakit..
" ANJING....!! ".
Saat aku hendak menjotos wanita penunggu loket, adik istriku yang paling kecil mendatangiku sambil berteriak.
" A.... kain bayinya dimana.? Si dede udah lahir.! ".
Aku terkejut, antara senang, dan tidak percaya aku berlari ketempat dimana istriku dirawat.
Aku melongo saat berada di depan pintu.
Kulihat tangan ibu mertuaku berlumuran darah.
Dipangkuanya meronta-ronta jabang bayi yang belum diputus arai-arinya.
Tanpa ada dokter, ataupun perawat, hanya mereka berdua dan si jabang bayi.
Jerit tangis bayi menyadarkanku, kulihat istriku tergolek lemas.
Aku cepat berlari ke ruang tunggu di mana perbekalanku aku tinggal.
Dalam batinku menjerit.
" Ya Tuhan, ini keajaibanmu, atau si dokter bangsat ini yang menipu.? ".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H