Mohon tunggu...
gombal mukiyo
gombal mukiyo Mohon Tunggu... -

Ubuntu user & Traveler wannabe

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Perempuan Tua

19 Juli 2010   04:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:46 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di pojok gelap, bawah pohon jambu, sepetak kamar berdiri dengan muram. Satu dua buah jambu jatuh menggertak genteng. Sunyi.

Penghuninya seorang perempuan tua, berumur 60-an. Entah sudah berapa lama ia tinggal di rumah - atau bisa saya sebut gubuk itu. Ia tinggal bersama lima kucing yang rajin mengeong saban hari karena terus-terusan dirundung lapar seperti dirinya. Profesinya sederhana, pemulung.

Tengah malam itu saya beranikan diri nongkrong di teras kamar, lalu mengepulkan sejumput asap dan menikmati kopi. Sembari mengejapkan mata, saya liat sekeliling kamar, sepi, semua sudah lelap bersama bantal atau mungkin mimpi-mimpi joroknya. Mata saya kemudian sedikit kaget. Perempuan tua yang tinggal di gubuk itu ternyata masih duduk manis menghadap ke arah yang berlawanan dengan saya. Di pangkuannya, si kucing dengan rapuh nglendot tanpa bersuara.

Lalu tiba-tiba, "asu, kowe. diopeni kawit cilik malah nyokot..." perempuan tua itu marah, lalu tangannya dengan sigap melemparkan si kucing rapuh tadi ke tumpukan kayu di pojok kamarnya.

Sejurus kemudian, pintu-pintu kamar terbuka. Empunya kos, si tukang adu ayam, si pns-pns, si India aduhai, semua bangun sambil mengucek mata.

"Ono opo to, mak. bengi-bengi ngene kok nggawe suoro. wes, to, kucingmu kuwi diguwak wae neng Ciliwung. Ben modar. Sampean kuwi wes tuwo. Ngurus uripe dewe wae susahe ra umum, isih ngurusi kucing," empunya kos bersungut-sungut.

Perempuan tua itu hanya diam, lalu membalikkan badannya yang bungkuk masuk ke kamar. Mungkin meratap atau merenung menyesali diri telah melempar si kucing rapuh tadi.

Saya hanya melongo.

--"--

Silih berganti penghuni-penghuni baru datang, silih berganti pula lembaran 50 ribuan berpindah tangan ke perempuan tua itu. "Jatah 2,5 persen dari gaji", begitu kata teman saya.

Saya dan jutaan perantau lainnya tinggal di kota yang makin padat, menghimpit dan menuntut. Kota yang terus menuntut agar selalu taat. Oh, perempuan tua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun