Mohon tunggu...
Dian Aditi Iswara
Dian Aditi Iswara Mohon Tunggu... wiraswasta -

Seorang penjelajah, pendidik, pengamat, perenung. Melihat kehidupan sebagai sebuah sekolah dengan fasilitas lengkap untuk belajar dan bermain.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Memilih Belajar di Luar Negeri: Tercela atau Terbela?

4 Januari 2012   07:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:21 1638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari dulu sampai sekarang, isu pro-kontra satu ini tidak pernah hilang: mengirim anak untuk belajar di luar negeri - apakah baik atau buruk, tercela atau terbela? Banyak yang menganggap mereka yang sekolah (kemudian melanjutkan mencari kerja) di luar negeri tidak memiliki nasionalisme. "Padahal banyakkokuniversitas dalam negeri yang berkualitas juga," ujar salah satu teman saya. Ada juga yang menganggap, mengirim anak keluar negeri itu sama saja menggerus karakter bangsa yang selama ini berusaha ditekankan dalam pelajaran kurikulum nasional, seperti nilai-nilai keagamaan dan moral, serta semakin pupusnya bahasa Indonesia yang digunakan oleh generasi masa kini. "Tahu sendiri kan, kalau di luar negeri kan budayanya beda. Kita harus menjunjung budaya ketimuran kita. Aku bangga kok sama budaya kita," tambah teman saya tersebut. Saya juga bangga dengan adat ketimuran Indonesia yang masih menjunjung sopan santun, ramah-tamah, dan menghargai orang lain terutama yang lebih tua. Masalah nasionalisme-lah yang saya rasa kurang relevan. Saya dulu belajar di luar negeri, dan saya merasa nasionalisme saya malah lebih kuat saat saya berada disana; dan ini juga terjadi pada beberapa teman sekolah saya orang Indonesia yang belajar di kampus yang sama. Saya lebih sering mempromosikan budaya Indonesia daripada saat saya masih di Indonesia sendiri; termasuk lebih semangat pula merayakan hari kemerdekaan Indonesia. Saya rasa nasionalisme tidak sembarang terkikis hanya karena seseorang tinggal di luar negeri. Namun saya juga tahu, banyak lulusan SMU dalam negeri yang dari sekolah non-unggulan maupun national plus/internasional mengalami kesulitan untuk masuk ke PTN unggulan. Kebanyakan karena tidak standarnya kurikulum pengajaran. Bisa jadi mereka ini adalah anak-anak cemerlang, tetapi kurikulum sekolah mereka, misalnya, lebih mempersiapkan mereka untuk menghadapi dunia global dan bukannya pelajaran PTN Indonesia. Akhirnya mereka harus melupakan peluang masuk ke PTN, dan berakhir di universitas swasta dalam negeri, atau (mencari beasiswa) keluar negeri. Jika Anda membaca berita di Kompas.com hari ini (4/1), "Jalan Terjal di Negeri Sendiri," Anda pasti mengerti mengapa banyak para pemuda/i dengan otak cemerlang memilih lanjut ke luar negeri. ”Saya tidak mau lagi kuliah di dalam negeri. Saya pikir, prestasi yang saya perjuangkan dengan gigih (meraih medali perak di Olimpiade Biologi Internasional 2011- red) bisa memudahkan saya kuliah kedokteran di PTN, ternyata tidak terjadi,” ujar Marsha Christanvia Wibowo (18) kepada Kompas.com. Akhirnya Marsha pun berpaling ke negeri singa yang menawarkannya beasiswa. Cerita yang lebih miris lagi bahkan terjadi pada Muhammad Firmansyah Kasim (20) yang akhirnya harus mengikuti ujian masuk PTN jalur umum dan harus menggunakan uang hadiah kemenangan medali emasnya di Olimpiade Sains Internasional 2007 bidang Fisika untuk membayar biaya masuk universitas sebesar Rp 25 juta. Firman pun menyesali pilihannya untuk kuliah di dalam negeri karena ia dulu sebenarnya dikejar-kejar oleh universitas top Singapura, National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technology University (NTU) untuk masuk tanpa tes, serta dibekali beasiswa. "Untuk jenjang S-2, saya mau cari beasiswa luar negeri saja supaya lebih pasti," ujar Firman. ------------------------- Sekarang, jika Anda memiliki anak dan ternyata berprestasi, tidakkah Anda akan berpikir dua kali? Bisa mengirim anak keluar negeri tanpa biaya (melalui beasiswa), dapat pendidikan internasional, membuka cakrawala dengan bertemu banyak orang dari multibudaya, plus memperlancar bahasa internasional Bahasa Inggris yang semakin penting saja di era globalisasi ini. Saya sendiri sebenarnya lebih memilih anak saya mendapat jalan lengang dan masa depan cerah melalui sistem pendidikan di dalam negeri. Tetapi, jika jalur pendidikan di dalam negeri tetap sulit, sekalipun bagi anak bangsa yang berprestasi, tentunya saya akan berpikir dua kali. Sebagai orangtua, masa depan anak saya adalah segalanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun