Mohon tunggu...
I.G. Jali
I.G. Jali Mohon Tunggu... Guru - penikmat nasi goreng, literasi, dan kopi

jika tak mampu nambah pemasukan, kendalikan pengeluaran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Madrasah, Sudahkah Merdeka?

17 Agustus 2016   22:17 Diperbarui: 23 Oktober 2022   00:12 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Waduh, ini bisa jadi petaka, ini!”

“Lha itu dia, Pak. Imej lembaga-lembaga di bawah KEMENAG bisa hancur ini. Wali murid bisa saja, tho, punya prasangka buruk. Bahkan, bisa menjelek-jelekkan madrasah dan KEMENAG.”

“Oke. Tapi, bukan itu yang saya perkarakan. Iya, urusan itu saya setuju. Tapi yang saya maksud adalah: sekarang ini kita—sebagai kepala madrasah ini—musti bagaimana, supaya KIP siswa di lembaga kita cepat dapat nomor virtual dan segera dicairkan?

Soal, wali murid ini, lho, kalau ndak ada info pencairan, ini lalu menyalahkan sekolah. Ini jelas tidak sehat untuk masa depan madrasah.”

Ah, persoalan purba! Saya tidak tahu, akan berlabuh di manakah pembicaraan itu? Saya mengenali persoalan di atas sudah sejak lama. Hanya gambarnya berbeda.

Dahulu, anak lulusan MI, MTs, MA, lalu STAI atau IAI, sulit jadi PNS. Tapi jika lulusan SD, SMP, SMA, lalu STA atau Universitas, itu gampang jadi PNS, atau—setidaknya—lebih mudah, lah.

Memang sulit bagi seseorang yang punya kepala dua: mau mengikuti perintah otak yang mana. Kanan atau kiri. Budak dengan dua tuan pun sulit: begitu ikut yang satu, yang lain melarangnya.

Ada dua tuhan, juga sulit. Yang satu ingin menghancurkan, yang lain berkehendak membangun. Solusinya hanya satu: tauhid. Penyatuan.

Musti ada pentauhidan sistem pendidikan RI.

Artinya, biarlah pendidikan menjadi urusan DIKNAS, tapi DIKNAS harus mengakomodir seluruh jenis pendidikan, formal atau non-formal (bisa juga, pesantren dan non-pesantren), bahkan informal.

DIKNAS dilarang mendekte pendidikan informal dan non-formal (termasuk pesantren). Juga dilarang ada diskriminasi ijazah (misalnya: ijazah formal laku, non-formal tidak laku).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun