“Waduh, ini bisa jadi petaka, ini!”
“Lha itu dia, Pak. Imej lembaga-lembaga di bawah KEMENAG bisa hancur ini. Wali murid bisa saja, tho, punya prasangka buruk. Bahkan, bisa menjelek-jelekkan madrasah dan KEMENAG.”
“Oke. Tapi, bukan itu yang saya perkarakan. Iya, urusan itu saya setuju. Tapi yang saya maksud adalah: sekarang ini kita—sebagai kepala madrasah ini—musti bagaimana, supaya KIP siswa di lembaga kita cepat dapat nomor virtual dan segera dicairkan?
Soal, wali murid ini, lho, kalau ndak ada info pencairan, ini lalu menyalahkan sekolah. Ini jelas tidak sehat untuk masa depan madrasah.”
Ah, persoalan purba! Saya tidak tahu, akan berlabuh di manakah pembicaraan itu? Saya mengenali persoalan di atas sudah sejak lama. Hanya gambarnya berbeda.
Dahulu, anak lulusan MI, MTs, MA, lalu STAI atau IAI, sulit jadi PNS. Tapi jika lulusan SD, SMP, SMA, lalu STA atau Universitas, itu gampang jadi PNS, atau—setidaknya—lebih mudah, lah.
Memang sulit bagi seseorang yang punya kepala dua: mau mengikuti perintah otak yang mana. Kanan atau kiri. Budak dengan dua tuan pun sulit: begitu ikut yang satu, yang lain melarangnya.
Ada dua tuhan, juga sulit. Yang satu ingin menghancurkan, yang lain berkehendak membangun. Solusinya hanya satu: tauhid. Penyatuan.
Musti ada pentauhidan sistem pendidikan RI.
Artinya, biarlah pendidikan menjadi urusan DIKNAS, tapi DIKNAS harus mengakomodir seluruh jenis pendidikan, formal atau non-formal (bisa juga, pesantren dan non-pesantren), bahkan informal.
DIKNAS dilarang mendekte pendidikan informal dan non-formal (termasuk pesantren). Juga dilarang ada diskriminasi ijazah (misalnya: ijazah formal laku, non-formal tidak laku).