Mohon tunggu...
I.G. Jali
I.G. Jali Mohon Tunggu... Guru - penikmat literasi dan suka nasi goreng

... ngalor ngidul sing penting rukun ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Barokahisme Di Pesantren

23 November 2015   02:56 Diperbarui: 23 November 2015   03:23 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demikianlah cara ulama dahulu membumikan kata ‘barokah’ dan memperkenalkan maknannya melalui berkatan. Malalui Mbah Hasyim Asy’ari Jombang, Mbah Mahfudz Termas, Mbah Darat Semarang, Mbah Ihsan Jampes, Mbah Yasin Padang, Mbah Kholil Bangkalan, Mbah Nawawi Banten, Mbah Sulaiman Pasuruan, Gus Ud Sidoarjo, Mbah Hamid Pasuruan dan tokoh-tokoh lain yang tidak hanya memahami hukum Islam tapi juga mengerti sosio-kultural masyarakat Indonesia sehingga tidak mentah cetusan hukumnya. Juga Mbah Sunan Kalijaga. Nah, sedikit banyak, melalui merekalah ‘barokah’ berubah menjadi ‘berkat’ kemudian menjelma berkatan. Barokah menemukan bentuk kulturalnya. Islam Ga’ Jowo Ga’ Apik; Jowo Ga Islam Yo Ga’ Apik [Islam tidak Jawa itu tidak bagus; Jawa saja tanpa Islam itu juga tidak bagus]. Di sini lah Jawa dan Islam menjadi sikap hidup [bukan aturan-aturan hukum yang kaku] dengan satu spektrum ‘barokah’ dalam watak mayoritas masyarakat muslim di Indonesia.

Bagi saya, dalam dada merekalah barokah dititipkan. Sehingga, saya sempat ngotot pindah pesantren hanya untuk mendapat barokah yang lebih besar. Yakni, ke Sidogiri Pasuruan, Pesantren Mbah Sulaiman, pesantren tertua se-Indonesia, atau bahkan mungkin sedunia, mengingat sistem pondokan hanya ada di Indonesia. Hari Ulang Tahun pesantren itu (Harlah) saat ini sudah ke-390an.

“Untuk apa kamu pindah?” tanya Bapak pada saya.

“Untuk nyalaf, Pak.”

Terjadilah obrolan tentang apa sesungguhnya salaf, salap (jawa), dan nyalaf. Dalam kondisi psikis yang masih labil, pertimbangan saya waktu itu, di pesantren salaf ada lebih banyak barokah dari pada di pesantren semi modern seperti yang sedang saya pesantreni waktu itu.

Nyalaf atau nyalap itu dari salap,” jelas Bapak memaklumkan saya dengan ilmu othak-athik-gathuk-nya, “Salap itu meletakkan. Jadi, kalau kamu mampu ndeleh awakmu [meletakkan dirimu], di pesantren salaf atau tidak, sama saja. Barokah tidak terletak pada pesantren salaf atau bukan. Nyalaf yang sesungguhnya adalah ketika kamu mampu meletakkan dirimu.”

Meski tidak mengerti, saya akhirnya kembali ke pesantren di Paiton itu. Saya kembali berziarah ke Mbah Zaini, pendiri pesantren itu; kepada Mbah Hasyim Zaini, putra pertama beliau. Berzirah dalam arti mendatangi medan morfik. Semacam gelombang magnet yang tetap ada dalam setiap orang, peristiwa, atau tempat. Medan morfik inilah yang sebenarnya ingin dicapai oleh para peziarah, yang dalam batas tertentu mempengaruhi kondisi psikis dan pikir mereka. Orang tidak pernah tahu wujudnya, termasuk saya, namun mereka merasa perlu datang ke makam para wali, orang saleh, atau ulama lainnya, terlepas dari apa saja macam tujuan mereka.

Evaluasi Sejenak

Usai dari mondok di pesantren Paiton itu, saya di rumah dua tahun. Tapi, memahamai barokah seperti yang sudah disebutkan banyak membantu saya untuk tidak frustasi sebab tidak bisa melanjutkan sekolah sehubungan dengan mahalnya biaya. Namun setelah semua tersedia, saya berangkat ke Kudus. Anda tahu, Kudus terkenal dengan pesantren al-Qur’an, baik yang belajar membaca maupun yang menghafalkan. Mulai dari kondisi, masyarakat, dan tempat, semua mendukung terciptanya lingkungan yang pas untuk apa yang saya cita-citakan.

Sekali lagi, Kudus memiliki medan morfik yang cukup besar terkait dengan al-Qur’an. Mbah Sunan Kudus sendiri, Mbah Arwani Amin, Mbah Hisyam, dan beberapa tokoh penghafal al-Quran telah meninggalkan medan morfik yang membentuk segala situasi di kota ini menjadi kondusif untuk urusan belajar al-Qur’an, baik membaca atau menghafalkannya. Setelah di kota ini selesai, saya berlanjut ke Krapyak Jogja. Mengapa? Saya baru menyadari bahwa belajar saya hanyalah perjalanan mencari barokah. Di pesantren Paiton, saya mendengar bahwa ilmu al-Quran di pesantren itu masih berkiblat ke Kudus. Setelah di kudus, saya tahu bahwa Mbah Arwani Amin belajar al-Qur’an kepada Mbah Munawwir Krapyak-Jogja. Jadi, hingga saat ini pun pengejaran barokah itu masih berlangsung. Bagai saya, dapat atau tidak dapat bakan persoalan.

Mungkin saya keliru sebab menganggap lembaga formal tidak ada barokahnya. Faham barokahisme dalam benak saya seolah sinis pada lembaga modern itu. Padahal, kondisi saat telah banyak membarokahkah lembaga formal dengan cara mempesantrenkannya dan pesantren mulai menambah berkah dengan mengadopsi lembaga formal sebagai bentuk bertambahnya suatu kebaikan ke dalam kebaikan yang sudah ada. Formal dipesantrenkan atau pesantren diformalkan, keduanya sama. Kini, bagi saya, letak barokah tidak pada lembaga, orang, tempat, atau apa saja yang bersifat indrawi. Bukankah sering didengar dan diucapkan  assalamualaikum warahmatullahi wa barokatuhu? Barokatuhu artinya barokahNya. Maka, kepadaNya semua berpulang. Barokah hanya milikNya. Terserah-terserah Dia mau meletakkan barokah di mana.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun