Mohon tunggu...
I.G. Jali
I.G. Jali Mohon Tunggu... Guru - penikmat literasi dan suka nasi goreng

... ngalor ngidul sing penting rukun ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kesantrian Sroedji

24 Oktober 2015   16:38 Diperbarui: 24 Oktober 2015   16:59 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nama adalah doa. Asmo kinaryo jopo, kata orang Jawa.

Enam puluh enam tahun lalu, Mohamad Sroedji, soerang letnan kolonel, Komandan Brigade III Damarwoelan Devisi I, gugur di medan perang melawan Belanda. Medan perang Karang Kedawoeng, Ketjamatan Moemboelsari, Kawedanan Majang, Kabupaten Djember. Pada Selasa Pahing 8 Pebruari 1949 M atau pada 9 Rabiulakhir 1368 H. Kurang lebih dua puluh empat tahun setelah KH. Kholil Bangkalan wafat pada 1925 M.

Mohamad Sroedji, dalam bahasa Jawa, berarti orang terpuji seru nyawiji, sangat bertauhid. Bertauhid itu memfokuskan diri menghamba pada Yang Esa. Mengikuti nama Nabi Muhammad Saw, ditambah akronim dua kata berbahasa Jawa, S(e)ru(nyawi)ji.  Siapa mengira kata ‘sruji’ tak memiliki arti, hanya karena ia tak ditemukan dalam perbendaharaan kosa-kata Madura dan Jawa?! Bahkan Arab?!

Pemilik zodiak Aquarius ini menghidupi karakter Senin Legi: kredibel, pantang mundur, suka berpetualang, tabah, betah menderita, bijaksana, berani, dan rela berkorban; ber-pangasaran lakuning angin (bak perilaku semilir angin) dan ber-pancasuda tunggak semi (tunggul tua bersemi). Anda bisa membaca, di usia 34 tahun, ia rela bertaruh nyawa, mengorbankan kebersamaan bahagia bersama istri dan keempat anaknya; dengan segala kebesaran hati seorang istri yang rela menjanda sepeniggalnya.  

Pembacaan karakter, melalui Horoskop dan Penanggalan Jawa, adalah klenik bagi ilmuan. Mereka menawarkan Psikologi sebagai kajian akurat untuk mengidentifikasi karakter dan laku hidup seseorang. Mereka bilang neptu kelahiran tidak terbukti secara ilmiah, tanpa mempertimbangkan kenyataan sejarah perjuangan yang telah dialami oleh Sroedji. Apakah hasil pembacaan khazanah keilmuan Jawa terhadap kepribadian Mohamad Sroedji tersebut keliru?

Benar atau keliru, ilmiah atau klenik, obyektif atau subyektif, itulah doa, kinaryo jopo orang tuanya, H. Hasan dan Hj. Amni. Doa yang terkabul dan terbukti justru saat gugurnya dalam pengabdian kepada Allah Swt, ber-seru-nyawiji dengan jalan berjuang membela tanah air Indonesia. Sayang sekali, saya baru tahu itu setelah namanya dipakai sebagai nama universitas, jalan, dan gang. Sungguh sayang, saya baru pandai mengenang.  

Sroedji lahir di Bangkalan Madura. Pada Senin Legi 1 Februari 1915 M atau 16 Rabiulawal 1333 H. Ia lahir di bulan Maulid? Bulan Kelahiran Nabi Muhammad Saw?

Waw, istimewa! Saya baru menyadari satu alasan penting mengapa ia diberi nama Muhamad. Orang dahulu cenderung memberi nama sederhana namun sarat makna, disesuaikan dengan peristiwa besar yang menyertainya. Berbeda dengan kebanyakan orang sekarang, yang memberi nama hanya dengan pertimbangan harus-panjang dan harus-keren.

Mohamad Sroedji, dalam dialek Madura, diucapkan Mohamad Sérajê, Muhamad orang besar; orang terpuji ialah orang besar. Lelaki berdarah Madura. Tém bêng poté matta, ango’ poté tolang. Lebih baik mati, dari pada hidup menanggung malu. Malu jika tidak ikut mengabdikan jiwa-raga pada agama, bangsa, dan negara. Malu jika harkat dan martabat bangsanya diinjak-injak oleh kelaliman tanpa perlawanan. Malu jika kesucian perjanjian Renville dirobek-robek tanpa pembelaan.

Semangat juang Joko Tole mengalir dalam darahnya. 

Unik, Joko Tole berdarah Jawa, tetapi petilasannya bersemayam di Madura. Sama uniknya dengan Sroedji, lahir dengan nama bernuansa Madura, namun besar dan berjuang di tanah Jawa. Keuletan Madura berbaur dengan kelembutan Jawa. Duro thok ora jowo, ora apik; jowo thok ora duro, yo ora apik. Bersikap tegas dan ulet saja tapi tak punya perasaan, tidak baik; bersikap penuh perasaan saja tanpa tegas dan ulet juga tidak baik. Harus seimbang!

Meng(k)aji nama Sroedji mengingatkan saya pada nasehat orang tua saya: islam thok ora jowo, yo ora pik, Nang. Jowo thok ora islam, yo ora apik [islam murni saja tapi ndak punya perasaan ya tidak baik, Nak; punya perasaan saja tapi ndak islam juga ndak baik]. Artinya, kata islam, madura, dan jawa, di sini lebih mengarah pada konstruksi teoritis daripada nama agama, suku, atau daerah. Lebih berarti sikap, mungkin.

Di tahun Sroedji lahir, KH. Kholil masih hidup. Seorang kiai jenius yang menggagas kaidah penerjemahan Arab-Jawa kata per kata: utawi mubtada’, iku khabar, sopo fa’il, maring maf’ul, kerono li ‘ajlih, dan seterusnya. Tidak satupun orang Madura, waktu itu, yang tak mengenal beliau. Kita semua tahu, betapa erat hubungan Madura dengan sosok kiai. Dari urusan bercocok tanam hingga pernikahan, sangat sulit—untuk tidak menyatakan mustahil—bagi mereka untuk tidak sowan dan minta restu kepada kiai. Apalagi, urusan kelahiran dan nama anak.

Maka wajar jika kawasan Bangkalan diharumkan oleh KH. Kholil. Saya yakin, H. Hasan dan Hj. Amni pun menghirup keharuman itu dari kiai ‘produsen’ hampir semua ulama tanah Jawa tersebut. Utamanya, terkait nama anak yang baru lahir. Atas dasar keyakinan itu, nama Muhamad Sroedji bukan sembarang nama. Kholil berarti kekasih; Hasan berati baik; dan Amni berarti amanku. Persuami-istrian penanda-penanda melahirkan penanda lain. Penanda yang lebih jelas. Sedemikian jelas, hingga ia mampu menjelaskan dirinya: Muhammad Siraji. Sepenggal nama dari ayat suci “… wa dâ’iyan ilallahi wa sirâjan munîran [... dan (Allah juga mengutusmu, Muhammad, sebagai) pedakwah ke jalan Allah dan pelita terang yang menerangi] (Qs. Al-Ahzâb [33]: 45-46).”

Muhammad adalah pelitaku. Demikian terjemah nama pahlawan asli pulau sakera ini dalam dialek orang Arab.

Satu nama mengandung logat Jawa, dialek Madura, dan tutur Arab. Saya ragu jika nama itu muncul dari kebetulan belaka. Sebaliknya, saya yakin, kekayaan sisi pandang nama itu bersumber dari kejernihan hati orang alim yang hidup pada masa itu, KH. Kholil Bangkalan. Namun sayang seribu sayang, sejarah tidak dibangun di atas keyakinan buta, melainkan akurasi data.

Asmo kinaryo jopo. Ya, teori itu telah terbukti!

Meski, seperti gula dalam secangkir kopi, selalu saja ada yang tertinggal tak disebutkan dalam sejarah pahlawan kemerdekaan negeri ini. Bahwa ada gula kesantrian dalam diri Sreodji yang tak pernah disebut-sebut namun terasa ketika kita menikmati secangkir kopi cerita perjuangannya. Tetapi justru di situlah, saya mengenal ketulusan nyata pluralisme keyakinan: keakraban perpaduan kebudayaan Jawa-Madura-Arab-Islam. Meski hanya satu sisi yang dikenal orang, tak ada iri dengki satu sama lain di antara mereka. Sesuatu yang sungguh tak pernah saya percaya adanya, namun terjadi nyata dalam kesederhanaan sepenggal nama: Sroedji.

I.G. Jali__Bedengan, 20 Februari 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun