Mohon tunggu...
I.G. Jali
I.G. Jali Mohon Tunggu... Guru - penikmat literasi dan suka nasi goreng

... ngalor ngidul sing penting rukun ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kesantrian Sroedji

24 Oktober 2015   16:38 Diperbarui: 24 Oktober 2015   16:59 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Meng(k)aji nama Sroedji mengingatkan saya pada nasehat orang tua saya: islam thok ora jowo, yo ora pik, Nang. Jowo thok ora islam, yo ora apik [islam murni saja tapi ndak punya perasaan ya tidak baik, Nak; punya perasaan saja tapi ndak islam juga ndak baik]. Artinya, kata islam, madura, dan jawa, di sini lebih mengarah pada konstruksi teoritis daripada nama agama, suku, atau daerah. Lebih berarti sikap, mungkin.

Di tahun Sroedji lahir, KH. Kholil masih hidup. Seorang kiai jenius yang menggagas kaidah penerjemahan Arab-Jawa kata per kata: utawi mubtada’, iku khabar, sopo fa’il, maring maf’ul, kerono li ‘ajlih, dan seterusnya. Tidak satupun orang Madura, waktu itu, yang tak mengenal beliau. Kita semua tahu, betapa erat hubungan Madura dengan sosok kiai. Dari urusan bercocok tanam hingga pernikahan, sangat sulit—untuk tidak menyatakan mustahil—bagi mereka untuk tidak sowan dan minta restu kepada kiai. Apalagi, urusan kelahiran dan nama anak.

Maka wajar jika kawasan Bangkalan diharumkan oleh KH. Kholil. Saya yakin, H. Hasan dan Hj. Amni pun menghirup keharuman itu dari kiai ‘produsen’ hampir semua ulama tanah Jawa tersebut. Utamanya, terkait nama anak yang baru lahir. Atas dasar keyakinan itu, nama Muhamad Sroedji bukan sembarang nama. Kholil berarti kekasih; Hasan berati baik; dan Amni berarti amanku. Persuami-istrian penanda-penanda melahirkan penanda lain. Penanda yang lebih jelas. Sedemikian jelas, hingga ia mampu menjelaskan dirinya: Muhammad Siraji. Sepenggal nama dari ayat suci “… wa dâ’iyan ilallahi wa sirâjan munîran [... dan (Allah juga mengutusmu, Muhammad, sebagai) pedakwah ke jalan Allah dan pelita terang yang menerangi] (Qs. Al-Ahzâb [33]: 45-46).”

Muhammad adalah pelitaku. Demikian terjemah nama pahlawan asli pulau sakera ini dalam dialek orang Arab.

Satu nama mengandung logat Jawa, dialek Madura, dan tutur Arab. Saya ragu jika nama itu muncul dari kebetulan belaka. Sebaliknya, saya yakin, kekayaan sisi pandang nama itu bersumber dari kejernihan hati orang alim yang hidup pada masa itu, KH. Kholil Bangkalan. Namun sayang seribu sayang, sejarah tidak dibangun di atas keyakinan buta, melainkan akurasi data.

Asmo kinaryo jopo. Ya, teori itu telah terbukti!

Meski, seperti gula dalam secangkir kopi, selalu saja ada yang tertinggal tak disebutkan dalam sejarah pahlawan kemerdekaan negeri ini. Bahwa ada gula kesantrian dalam diri Sreodji yang tak pernah disebut-sebut namun terasa ketika kita menikmati secangkir kopi cerita perjuangannya. Tetapi justru di situlah, saya mengenal ketulusan nyata pluralisme keyakinan: keakraban perpaduan kebudayaan Jawa-Madura-Arab-Islam. Meski hanya satu sisi yang dikenal orang, tak ada iri dengki satu sama lain di antara mereka. Sesuatu yang sungguh tak pernah saya percaya adanya, namun terjadi nyata dalam kesederhanaan sepenggal nama: Sroedji.

I.G. Jali__Bedengan, 20 Februari 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun