bila rakyat berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!!
Setelah membacakan puisi ini, beliau langsung menjadi buronan dan target yang dicari-cari oleh pemerintah. Tetapi pria kelahiran 26 agustus 1963 ini tetap terus menulis puisinya yang berjudul "Para Jendral Marah-Marah". Setelah itu, beliau bersembunyi dan berlari dari kejaran pemerintahan Soeharto. Dan sampai sekarang, batang hidung pria kelahiran solo ini tidak tampak. Lenyap begitu saja.
Kita dapat lihat bagaimana proses kata melalui pena-pena yang dituangka dalam suatu puisi seperti Wiji Thukul ini dapat membunuh lebih keji dan menentang orang-orang yang berani mengambil hak hidup orang banyak. Dan memang benar, bahwa "Pena lebih kejam dari Pedang"
Dan terakhir untuk membangkitkan semangat kita agar tetap berkata melalui tulisan, mari kita renungkan puisi Wiji Thukul yang berjudul,
"Penyair"jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang
jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika aku menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah!
(1988)
*Sumber : Majalah Ed. Khusus Tempo "Wiji Thukul"