Begitulah kata seorang kritikus sastra ketika peradaban sastra mencapai puncak di dunia. Sebenarnya penempatan kata 'Pena' yang dimaksud adalah kata. Jadi yang lebih tepat adalah 'Kata lebih tajam dari pedang'. Mungkin untuk membandingkan ketajaman berdasarkan konteks benda, akibatnya kebanyakan orang mempersonifikasi 'kata' Â dengan 'Pedang'. Tetapi, terlepas dari itu ada sebuah perumpamaan yang bagus,
"Jika sebuah pedang hanya dapat menusuk satu orang berbeda dengan kata atau ucapan yang dapat membunuh atau menusuk ratusan bahkan ribuan orang dengan lebih kejam."
Membunuh dengan memprovokasi hati individu manusia dengan menyalurkan ide-ide kalimat atau sebuah buku untuk memancing naluri berontak atau bergejolak. Itulah yang terjadi dengan arah perjuangan kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan. Kita lihat bagaimana sajak-sajak para sastrawan kita seperti Chairil Anwar yang pada puisi "AKU",
"..Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi."
Bagaimana kerasnya pendirian chairil dalam tulisan puisinya ini. Dan bagaimana tidak pemerintahan pada saat itu geram dengan sajaknya ini. Tulisan ini ketika itu dinilai sebagai pembangkang. Tidak hanya chairil para akademis sastra, yaitu Soe Hok Gie (Mahasiswa Sastra UI) juga begitu. Melalui tulisan-tulisan kritisnya mengenai masa pemerintahan Soekarno, Gie pun akhirnya diburu oleh militer pada saat itu. Nama-namanya disebut-sebut oleh militer akibat kritikannya terhadap sistem demokrasi terpimpin Soekarno. Beliau juga menuliskan,
"Masih teralu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci mengatasnamakan Tuhan"
Dan,
"lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan"