Kembali, dunia jurnalisme tercoreng akibat kecerobohan seorang wartawan yang mencoba memeras seorang Kepala Sekolah. Dalam berita tersebut, disebutkan bahwa seorang wartawan berinisial US memeras seorang Kepsek yang diduga memiliki wanita idaman lain. Wartawan mencoba memerasnya dengan mengancam bahwa  persoalan wanita idaman lain yang dimiliki oleh si Kepala Sekolah akan dijadikan berita dan dimuat di salah satu media mingguan terbitan Surabaya. Tidak tanggung-tanggung, uang yang diminta oleh sang wartawan tersebut memilii nominal sebesar Rp. 10 jt. Sungguh miris melihat kejadian tersebut.
Wartawan tersebut tentu saja melanggara 11 pasal kode etik jurnalistik dengan penafsiran-penafsiran yang ada di dalam pasal tersebut. Penulis sudah pernah menuliskan perihal keprihatinan jurnalisme sekarang ini di media kompasiana ini. Banyak hal yang sebenaranya melandasi perbuatan-perbuatan seperti ini di dunia jurnalistik. Dan, salah satu masalah kronis yang  patut diberi perhatian adalah terkait dengan minimnya gaji menjadi seorang wartawan.
Polemik menjadi seorang wartawan
Menurut hemat penulis, kita setuju bahwa ihwal menjadi seorang wartawan yang bebas, berintegritas dan bekerja secara profesional serta tetap menegakkan kode etik jurnalis itu sendiri butuh suatu komitmen yang tinggi. Dalam membuat komitmen itu sendiri tentunya tidak mudah. Perlu adanya suatu keberanian dan kepercayaan diri yang besar. Keberanian tersebut adalah berani tetap menegakkan kode etik itu sendiri. Kepercayaan diri yang besar adalah merasa yakin bahwa menjadi seorang jurnalis merupakan jalan hidup yang sudah dipilih dan dipikirkan dengan baik-baik. Dan, biasanya semangat-semangat ini luntur akibat keterbatasan ekonomi dengan gaji yang minim menjadi seorang wartawan.
Dari kejadian yang terjadi seperti berita di atas tersebut, dapat ditelaah penyebabnya adalah masalah klasik yaitu keterdesakan ekonomi keluarga. Berdasarkan data survei divisi serikat pekerja AJI Jakarta mengenai jumlah gaji wartawan di sejumlah media di Indonesia , rata-rata berkisar diangka Rp 3 juta. Tetapi, yang tertera pada survei AJI hanya menampilkan media-media nasional yang sudah dikenal oleh masyarakat luas. Tetapi, bagaimana dengan media lokal yang namanya hanya dikenal di daerahnya saja. Bisa dibandingkan pula sebenarnya gaji wartawan nasional yang sudah bekerja di media terkenal tentu saja akan berbeda dengan gaji wartawan lokal yang masih hanya unggul di daerahnya saja. Uang yang diraup dari bisnis periklanan daerah pun tidak sebanyak iklan-iklan media nasional yang sudah terkenal. Gaji wartawan lokal pun berkisar di angka Rp. 1,5 jt - 3 jt saja.
Hal ini tentu tidak dapat menunjang kehidupan wartawan lokal itu sendiri. Dan, akhirnya wartawan yang biasa dijuluki sebagai wartawan amplop pun semakin merajalela dan merambat di media-media Indonesia. Tentu ini sudah harus dijadikan sebagai ancaman kedaulatan apabila suatu berita yang seharusnya diberitakan berdasarkan fakta, akhirnya jatuh akibat permasalahan uang. Para pemimpin media baik yang sudah populer atau belum seharusnya memperhatikan kesejahteraan dari wartawan itu sendiri. Jika tidak, mereka (baca: wartawan) juga tidak bisa hidup sepenuhnya dengan keteguhan untuk menjaga independensi itu lagi. Mereka terpaksa untuk menjadi wartawan amplop itu, atau tidak beralih profesi menjadi tukang parkir atau berjualan keliling.
Kita sebagai masyarakat tentu saja tidak berharap dengan kehadiran wartawan amplop tersebut. Tetapi, apabila sudah kepepet, maka seseorang dapat menghalaukan segala cara untuk mendapatkan uang lebih. Terlalu naif jika kita bilang selalu menegakkan independensi itu. Tetapi, memang masih ada ksatria-kstaria pembela kebenaran itu di tengah pergolakkan kehidupan jurnalisme itu sendiri. Masih banyak juga yang berusaha teguh untuk hal-hal seperti ini.
Wartawan amplop sebagai ancaman
Tidak lebih dari satu tahun lagi, indonesia akan mengadakan pemilihan umum (pemilu) 2014. Dalam pemilu ini, strategi politik itu tentu saja tidak terlepas dari bantuan-bantuan media yang selalu menggubris berita-berita mengenai hal ini. Â Mari kita bayangkan, apabila wartawan amplop masih beredar sekarang ini, tentu saja hal ini dapat membahayakan indonesia sendiri. Publik akan dibohongi secara leluasa tanpa sepengetahuan siapa pun. Publik akan menerima berita secara bulat-bulat dari media. Publik akan menjadi buta oleh semua ini.
Wartawan yang seharusnya menjadi penghubung untuk memberikan informasi yang aktual dan terpercaya, menjadi tumpul dan tidak dapat dipercaya lagi. Pergulatan politik indonesia pun akan berjalan dengan tidak demokratis. Semua hidup di dalam gambaran serta bayangan kebohongan yang diberitakan oleh wartawan amplop itu.
Untuk itu, kita sebagai publik jangan hanya melihat dan menerima bulat-bulat berita yang diberikan oleh media. Kita perlu melakukan analisa sebelum melakukan tindakan ke depan. Kita harus menjadi umat awam yang pintar dalam menyaring berita yang diberikan oleh media. Sekarang ini, hitam dan putih itu sulit untuk membedakannya lagi. Hanya melalui penalaran dan menganalisa berita yang diberikan media, kita dapat melihat mana yang sebenarnya wartawan ksatria itu dan mana yang wartawan amplop itu!
Tegakkan kode etik menjadi jalan mulia seorang ksatria.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H