Ketika yang dipercayai telah meruntuhkan tembok integritasnya, maka yang tersisa adalah bongkahan bangkai-bangkai kehormatan yang dibiarkan begitu saja. Tetapi, bangkai tersebut menimbulkan bau tak sedap yang memancing semua orang untuk berkata, "Ada apa ini dan kok bau sekali?" Dan hal ini juga yang menarik ruang simpul sosial di masyarakat ketika terjadi suatu bencana kultural yang amat serius. Bencana kultural ini adalah Korupsi. Hal ini tentu mengundang perdebatan di kalangan intelektual baik dari akademistis dan praktisi sendiri. Tetapi, ternyata yang kali ini dapat mengundang perhatian kalangan bawah juga.
Mas karim, dia adalah seorang penjual koran. Saya berkenalan dengan beliau sejak beberapa bulan yang lalu di warung tersebut juga. Dia biasanya berjualan koran di Lampu merah. Ketika dia sudah lelah, maka warung tersebut menjadi tempat yang nyaman bagi beliau untuk sekadar istirahat dan ngobrol santai dengan teman-teman yang ada di warung.
Berbeda dari biasanya. Pagi tadi, selepas melakukan olahraga lari pagi, saya selalu duduk di sebuah warung perempatan jalan untuk membeli seteguk air mineral. "Apa kabar mas?" tanya si penjual koran yang kala itu bersama seorang teman yang juga berprofesi sebagai penjual koran. Lalu, saya menjawab, "Baik, kang. Sudah laku berapa nih korannya?" Dia menghitung jumlah koran yang tersisa di tangannya. "Wah, hari ini banyak yang beli mas. Yang biasa gak beli juga tiba-tiba beli." ujarnya.
Kemudian, hal ini yang membuat saya menjadi tambah penasaran dengan fenomena yang 'tidak biasa' ini. Biasanya, ketika saya menanyakan hal koran, belia selalu menjawab, "Ya syukurlah, yang penting cukup untuk makan pagi." Kali ini, saya sangat antusias dengan jawaban dia "Emangnya kenapa mas, bisa banyak gitu?" Penjual koran yang masih lajang tersebut menjawab, "Oh.. saya sih kurang tau ya mas.. Tapi kalau menurut saya, gara-gara itu tuh mas. Kasus Korupsi di Mahkamah Konstitusi itu. Itu benaran sudah gila mas. Mas, ikutin ceritanya gak?" tanyanya kepada saya.
Tentu hal ini membuat saya menjadi semangat untuk melanjutkan perbincangan yang akan mengarah ke permasalahan bangsa ini. "Wah, saya juga ikutin juga mas. Ini memang sudah darurat mas sebenarnya." jawabku. Kemudian mas karim bergumam, "Sejak pagi tadi saya ambil koran di pusat. Hampir semua berita utamanya itu mengenai Korupsi MK mas. Lalu saya mencoba membaca-baca sebelum berangkat ke lampu merah. Dan, saya baru tahu kenapa Korupsi kali ini sangat Asikkkk (bahasanya) untuk diikuti. 'Wakil Tuhan' ternyata kena korupsi juga."
Saya kemudian tertawa dengan kata 'Wakil Tuhan'. "Hahahaha... Wakil Tuhan... Terus mas, menurut mas karim gimana kejadian ini?" saya sengaja bertanya kepada beliau untuk mengajak ngobrol lebih dalam mengenai permasalahan tersebut.
"Gini ya mas. Saya sebenarnya sudah gak percaya lagi dengan yang namanya hukum di negara ini. Lihat saja, yang namanya 'wakil tuhan' saja sudah begini. Apalagi bawah-bawahannya mas. Saya, orang bawah hanya bisa melihat ini dengan rasa capek. Jika ada manusia yang paling sabar, maka golongan kami-lah yang dapat dikatakan sabar. Kami sudah berapa kali dibohongi oleh yang atas itu. Tidak ada yang bisa diharapkan lagi kecuali hanya kepada Allah." ujarnya.
"Saya tidak merasakan kebijakan pemerintah yang benar-benar untuk rakyat. Yang ada hanya untuk kepentingan-kepentingan mereka saja. Memang benar kata orang-orang, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin." lanjutnya dengan pandangan pesimis.
Kemudian saya berkata, "Tapi mas, sebagai warga kita tentunya masih punya harapan untuk lebih baik lagi. Memang mereka yang di atas itu, tidak memikirkan kita. Tetapi, bukan berarti kita hanya diam dan melihat semua ini. Kita juga bisa bertindak kok...." Lalu penjual koran itu memotong perbincangan saya, "Ya kita bisa bertindak hanya dengan tangan 2 dan kaki 2 serta pikiran 1."
Beliau melanjutkan, "Tiap pagi saya menjual koran mas, tetapi jarang saya menemukan berita yang membangkitkan semangat positif di pagi hari. Ketika membawa koran, berita-beritanya hanya seputar korupsi, narkoba, pendidikan rendah, kejahatan. Tidak ada satu pun yang benar-benar enak untuk ditelinga saya mas. Semua hanya berbicara mengenai 'Hancurnya negera ini. Lihat saja, MK yang benteng terakhir aja jebol mas."
Saya pun terdiam mendengar perkataan tersebut. Lalu saya memutuskan melanjutkan perbincangan dengan membawa ke arah yang positif saja.
Dari cerita tersebut, saya mendapat gambaran bahwa mereka yang berada di bawah, dari sikap skeptis sekarang malah menuju menjadi arah pesimistis. Tentu hal ini akan berdampak buruk pada moral dan karakter bangsa ini. Mereka menggambarkan bahwa setelah kejadian ini, tidak ada lagi air yang segar untuk diminum. Semua hanya air kotor yang bercampur dengan lumpur-lumpur yang tidak jelas darimana asalnya.
Kita tidak tahu lagi harus ke mana mencari yang namanya 'justice'.Apakah keadilan itu benar-benar mahal? Hal yang patut dipertanyaakan adalah, Bagaimana dengan semua keputusan-keputusan yang telah lahir dari semua lembaga negara kita. Apakah semua itu sudah tercemari oleh bibit suap-menyuap? Terus apakah kita ini hidup dalam suatu hukum pengaturan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengendalikan sistem pemerintahan? Ketika 'Wakil Tuhan' terjangkit korupsi, Apakah Tuhan akan membiarkan semua ini? Tidakkah tuhan itu menjadi sumber atau panutan bagi semua orang untuk menjalankan perintahnya? Termasuk perintah Korupsi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H