Mohon tunggu...
Khus Indra
Khus Indra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pecinta Sastra dan Seni |\r\nPengagum pemikiran Friedrich Nietzsche | Pengkritik ulung

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bung Bowo dan Bung Joko, Ini Serius

4 Juni 2014   16:42 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:24 3461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bung, apa kabar? Saya tahu kalian pasti sedang sibuk sekarang. Jadi, saya dapat pastikan bahwa kalian tidak akan membaca artikel ini. Akhir-akhir ini, nama kalian sering muncul di berbagai media. Kalian perlu sadar Bung bahwa ketika saya membuka jejaring sosial saya, kalian telah menyebabkan polusi visual di layar monitar saya. Jujur, saya bingung dengan berbagai artikel yang berhubungan dengan kalian di media sosial, bung. Mengapa? Jumlahnya banyak Bung. Tetapi, sebenarnya jumlah itu juga harus berkaitan dengan substansi tulisannya Bung.

Saya rasa Bung-Bung sudah tahu bahwa isi artikel-artikel yang ditulis, dapat dipastikan selalu mengarah ke salah satu dari kalian Bung. Kalian seperti Rock Star sekarang Bung. Menurut tukang pencari google, Bung Joko disebut sebanyak 22 juta kali. Sedangkan, Bung Bowo berada di belakang dengan 18 juta kali. Bahkan, kata ‘Soekarno’ di mesin pencari ciptaan Negeri Paman Sam itu hanya disebut sebanyak 6,6 juta kali. Lihat betapa fenomenalnya kalian berdua Bung. Luar biasa Bung! [caption id="" align="aligncenter" width="323" caption="Prabowo & Jokowi (Sumber: Tribunnews.com)"][/caption]

Begitulah Bung retorika dalam dunia maya. Sorak-sorai dalam dunia komputerisasi lebih besar daripada yang nyatanya. Bung-Bung sekalian patut bersyukur telah berkompetisi di saat produk-produk media sosial telah merambat ke seluk-beluk kehidupan. Kita bisa tinggalkan metode berkampanye di pohon-pohon pinggir jalan atau metode stiker di motor ataupun alat transportasi lainnya. Kita bisa memasuki era yang menuntut inovasi dan pemikiran kreatif dalam penyampaian ketokohan dari Bung-Bung sekalian.

Cukup sudah intermezzo-nya, Bung. Saya memulai pembicaraan yang tidak penting ini dengan menyebut bahwa siapa pun pemimpinnya pasti rakyat juga tidak akan puas. Setuju ngak Bung ? Itu terserah Bung Joko dan Bung Bowo saja. Mengapa saya menyebut begitu? Alasan sederhananya adalah kita bisa menganalogikan dengan adagium klasik yang menyebutkan bahwa manusia tidak akan pernah puas. Tetapi, di samping ketidakpuasan tersebut, terdapat harapan untuk sesuatu yang lebih baik. Bung, bolehkah saya minta satu kepuasan dari sekian banyak kepuasan ketika nantinya Bung-Bung sekalian terpilih? Ini bukan kepuasan berahi ataupun jasmani Bung, saya cuma minta kepuasan rohani.

Bung, apa yang saya maksudkan dengan kepuasan rohani adalah sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan dan iman. Negeri ini telah mengakui 6 agama, tetapi itu hanya sebatas undang-undang dan teks belaka. Kenyataannya, yang minoritas masih ditindas dengan mayoritas yang beringas. Bung, harus tahu bahwa dalam laporan The Wahid Institute pada tahun 2013, ada sekitar 245 kasus yang terkait dengan masalah kepuasan rohani. Bisa dibayangkan hampir setiap hari kelompok yang minoritas menjadi korban akibat kelompok yang merasa paling benar. Ini miris Bung!

Dalai Lama XIV (Pemuka Agama Buddha) pernah mengatakan bahwa tujuan kita memiliki sebuah kepercayaan atau agama yaitu untuk mengendalikan diri kita sendiri menjadi lebih baik, bukan mengkritisi orang lain. Saya merasa miris bahwa negeri ini masih memberikan celah untuk tindakan intoleransi. Semakin tidak diberikan ketegasan, maka celah itu akan semakin lebar. Dan, yang mayoritas akan semakin memosisikan dirinya sebagai yang paling benar. Bung harus sadar bahwa negeri ini masih naif. Untuk apa kita meneriakkan Pancasila dan menyebutkan sesuatu kehidupan yang beragam, ketika yang beragam dipaksa untuk seragam. Bung harus tahu bahwa seragam dengan beragam itu berbeda. Seragam berarti membuat suatu kelompok menjadi sama dengan satu bentuk atau tatanan. Sedangkan, beragam memiliki artian bahwa suatu kelompok memiliki banyak ragam (bermacam-macam).

Bung, keimanan atau kepercayaan itu bersifat subjektif. Sama seperti kita memilih sebuah baju. Masing-masing individu akan memiliki pandangan yang berbeda untuk setiap baju. Ada yang mengatakan baju A bagus dan baju B jelek, tetapi yang memutuskan baju A bagus adalah diri kita sendiri. Bukan orang lain. Pandangan seseorang terhadap Agama A, B, C ,D atau E tentu berbeda-beda, tetapi yang berhak memutuskan adalah dirinya sendiri bukan paksaan dari orang lain. Tidak ada yang berhak menentukan agama A, B, C, D, ataupun E adalah agama yang sesat. Tidak ada. Bung, harus bertindak tegas kepada mereka yang berani mengatakan agama A, B, C, D, atau E itu sesat. Tetapi, saya ragu Bung-Bung sekalian dapat memberikan hukuman yang tegas.

Masih segar di ingatan saya mengenai tragedi penyerangan terhadap Ahmadiyah pada 16 Februari 2011 di Desa Cigeli, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Padagelang, Banten. Akibat penyerangan itu Bung, 6 orang tewas dan beberapa lainnya luka-luka. Apakah Bung sudah melihat video brutal dari sekelompok orang memakai peci memukul korban yang sudah tewas dengan pentungan kayu berkali-kali dan meneriakkan Tuhannya? Ketika pertama kali saya melihat video itu, reaksi saya adalah hanya binatang yang dapat melakukan hal itu.

Lantas apa kabar dengan penyerang ataupun pelaku tersebut? Mereka hanya dihukum vonis ringan. Bung mau tahu berapa hukumannya? Hanya 3-6 bulan saja untuk kasus pembunuhan tersebut yang dilakukan oleh para pelaku biadab. Negeri ini masih belum aman bagi yang minoritas Bung. Yang minoritas merasa dihantui oleh bayang-bayang mayoritas yang merasa paling benar. Saya rasa, hal-hal sentimen seperti ini telah dijadikan komoditas bagi mayoritas untuk menjalankan cara pragmatis demi keegoisan keyakinannya. Lantas, apa kabar dengan umat Syiah yang diusir dari kampung halamannya sendiri di Sampang dan sampai sekarang belum dapat kembali ke tanah kelahiran mereka?

Sekali lagi, saya skeptis. Mengapa? Kita bisa lihat dalam pemilu legislatif kemarin. Tidak ada satu pun para caleg yang berkunjung ke umat Syiah yang sekarang menjadi pengungsi di rumah susun Puspa Argo. Para caleg bahkan memilih untuk tidak ikut campur dalam urusan sentimen seperti itu. Saya ragu Bung, apakah Bung berani mengunjungi mereka dan memperjuangkan hal-hal kebebasan beragama mereka? Mereka yang minoritas seakan hanya menjadi bagian yang tersisa dari yang disisakan. Saya tahu perolehan suara dari yang minortas hanya sekian persen dari jumlah pemilih sekarang. Tetapi, mereka juga berhak bersuara dan menyatakan sikap untuk menentukan masa depan mereka.

Ketika kekerasan demi kekerasan atas nama agama muncul di permukaan, kita patut bertanya Bung, apakah perbedaan itu telah menjadi hal-hal yang tabu bagi masyarakat sekarang? Hal ini diperparah oleh pernyataan mantan Menteri Agama kita pada tahun 2009 lalu, yaitu Bpk. Suryadharma Ali, yang menyebutkan untuk membubarkan Ahmadiyah yang telah mengacak-ngacak agama Islam. Bagaimana bisa seorang pemimpin kebijakan religius dan penjaga gerbang kebebasan beragama di Indonesia mengatakan hal seperti itu. Pantas saja, jika kemarin kita hanya menyaksikan kebrutalan sekelompok orang atas nama agama berbuat seenaknya terhadap kaum minoritas, tanpa penindakan yang jelas dan tegas. Mereka dibiarkan berkembang dan menjadi suatu postur kelompok yang paling benar.

Apakah kita harus membayar mahal untuk mendapatkan harmoni dalam hidup bersama? Meskipun terdengar klise, kita masih belum mewujudkan kehidupan seperti itu. Baru-baru ini, kita menyaksikan lagi kebengisan sekelompok orang yang menyerang rumah ibadah umat Kristen di Yogyakarta. Bahkan dalam jangka waktu 4 hari terjadi 2 penyerangan. Belum lagi beberapa waktu lalu, terjadi penyerangan ‘bom’ berdaya ledak ringan di Vihara Ekayana Grha Tanjung Duren, Jakarta.  Bung, ini tugas berat. Cerita-cerita di atas bukan cerita fiktif ataupun dramatikal dari sebuah film, Bung. Inilah yang terjadi dalam realitas sosial kita.

Kalau masih belum cukup, saya lampirkan beberapa data dari Setara Institute.

(Sumber: SETARA INSTITUTE)

Bung, Jawa Barat menduduki puncak klasemen sebagai tempat terbanyak dalam terjadinya pelanggaran terhadap kebebasan beragama. Sementara itu, Bung harus  tahu bahwa aktor nonnegara yang melakukan pelanggaran terbanyak dilakukan oleh FPI. Bung sekalian kebetulan beragama Islam, Apakah Bung tidak merasa risih dengan tindakan ormas yang mengatasnamakan agama Bung yang bertindak seenak jidatnya? Beranikah Bung memberikan tindakan tegas seperti membubarkan atau apa pun kepada mereka? Dalam aksi-aksinya, tak segan mereka meneriakkan nama ‘Tuhan’ untuk tujuan kebiadaban.

Bung harus tahu bahwa selama ini yang ditindak tegas hanya sebatas ucapan-ucapan peringatan dan hukuman ringan. Dialog yang dilakukan juga hanya sebatas ruang percakapan yang berlangsung dalam koridor sempit. Tidak ada keseriusan untuk mencegah tindak kekerasan selanjutnya. Setiap kali kejadian serupa muncul, hanya diberikan sanksi ringan meskipun beberapa pihak telah mengecam keras. Penanggulangannya juga hanya dilakukan secara parsial oleh pihak kepolisian. Tidak ada tindakan pencegahan secara kolektif atau menyeluruh untuk serius menuntaskan permasalahan intoleransi ini. Yang dimaksud dengan tindakan pencegahan kolektif adalah tindakan yang secara kontinu dan tidak berhenti pada satu ataupun dua tahap guna meredam potensi-potensi yang dapat merusak nilai kebebasan beragam. Sebenarnya, Karen Amstrong telah mengingatkan kita dalam bukunya yang berjudul  The Great Transformation (2006), persoalan agama tidak berhenti pada apa yang dipercayai, melainkan pada apa yang kita perbuat.

Ah, Bung sudahlah. Saya rasa media lebih sibuk untuk menyorot pencitraan kalian berdua. Apalagi media-media yang sedang berafiliasi dengan kalian, Bung. Masalah seperti ini hanya bagian cerita-cerita di siang bolong. Dalam tulisan yang tidak menarik ini juga saya tidak membahas masalah partai koalisi kalian Bung. Hal ini dikarenakan fokus saya hanya pada masalah yang akan dihadapi oleh Bung-Bung saja, apabila nantinya terpilih.Yang jelas Bung untuk mengakhiri ini, saya akan mengutip sedikit ucapan Yap Thiam Hien, pengacara keturunan Tionghoa dan pejuang HAM, “Minoritas bukan ditentukan oleh jumlah, tetapi oleh tindakan yang dilakukan.” Saya sependapat dengan bapak pendiri YLBHI ini. Bagi Yap, tidak ada sebutan minoritas dan mayoritas yang diukur secara kuantitas, tetapi yang dilihat oleh Yap adalah apa yang dilakukan seseorang terhadap sekitarnya.

Tapi, ya sudahlah Bung mari kita duduk dan bersantai sejenak di teras. Apakah Bung berdua suka minum kopi? Alangkah indahnya jika Bung berdua bisa piknik bareng sebelum pertarungan 9 Juli nanti. Membicarakan hal-hal tentang segarnya udara, hijaunya pepohonan, dan indahnya langit beserta burung-burung yang berkicau. Tidak lupa juga angin yang berhembus sepoi-sepoi… Lalu, Bung berdua bertanya,

“Apakah aku yakin mau nyapres?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun