Melihat foto-foto hitam putih dengan gambar tengkorak manusia, membawa nuansa menyeramkan sekaligus kesedihan yang tertanam. Masing-masing foto tersebut dimasukan ke dalam kotak-kotak. Lalu, di samping kanan-kiri foto itu diapit dengan dua buah lampu merah elektrik yang diibaratkan seperti lilin. Sebanyak 191 kotak itu disusun melingkar bak sebuah monumen.
Itulah monumen karya seniman FX Harsono yang berjudul Monumen Bong Belung (Monumen Kuburan Tulang, 2011). FX Harsono kembali dengan membawa nuansa yang selalu mengupas mengenai identitas dirinya sebagai orang Tionghoa Indonesia.
Kali ini, ia hadir di Galeri Selasar Sunaryo Art & Space, Bandung, dengan menggelar pameran tunggal yang berjudul “Things Happen When We Remember”.
Karya Monumen Bong Belung disusun seperti altar sembahyang dalam tradisi tionghoa itu, diambil dari pembunuhan dan pembantaian terhadap etnis tionghoa yang terjadi di tempat kelahirannya sekitar tahun 1947-1949 akibat pergolakan politik.
Bila kita lihat secara detail karya ini, maka akan terlihat nama-nama orang yang meninggal.
Kita seperti dibawa ke sebuah kuburan peranakan tionghoa yang dipenuhi hawa-hawa dingin dengan kegetiran akibat pembantaian itu.
Identitas
Nama FX Harsono sudah mulai malang melintang dalam seni rupa Indonesia sejak keterlibatannya dalam Manifesto Desember Hitam – sebuah gerakan seniman yang beroposisi terhadap institusionalisasi seni oleh pemerintah tahun 1974.
Selain itu, ia juga tergabung dalam Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GRSBI, 1975-1979), sebuah gerakan yang melakukan berbagai dobrakan estetika seni rupa masa itu. Serta, memperkenalkan berbagai pendekatan seni rupa yang pada saat itu masih dianggap anti-estetis dan menyalahi konvensi, seperti instalasi dan performance art.
Sebenarnya, nuansa Identitas dalam karya-karya pria kelahiran Blitar, 65 tahun silam, dimulai pada tahun 2008. Kala itu, ia sering bertanya mengenai siapa dirinya yang sebenarnya. Akhirnya, ia membuat karya tentang Displaced, akibat dari ketidaknyamanan mengenai pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Sampai akhirnya ia mulai menyadari bahwa dirinya sebagai orang Tiong Hoa.
Karya-karya yang ditampilkan pada Ruang B dan Ruang Sayap di Selasar ini dapat kita saksikan sebagai sebuah panggung sejarah. Sebuah sejarah yang dihadirkan oleh FX Harsono melalui sisi terkalbu dari yang terpinggirkan.
Hal ini dapat kita rasakan melalui karya Rewriting on the tomb (2013). Karya ini merupakan karya cetakan huruf-huruf yang diambil oleh Harsono sendiri di kuburan Tionghoa. Dia menggunakan sebuah lembar kain yang kemudian ditutupkan pada huruf-huruf batu nisan di kuburan tersebut. Lalu, dengan terampil Harsono mencetak huruf tersebut dengan menggunakan arang merah.
Kegetiran belum berhenti, masih ada karya Writing In The Rain (2013). Karya performance yang ditampilkan melalui video ini digabungkan dalam satu ruangan dengan 3 buah meja yang masing-masing memiliki kursi seperti di sekolah.
Video tersebut menggambarkan bagaimana Harsono berusaha untuk menuliskan nama Mandarinnya dengan kuas dan tinta hitam pada sebuah kaca bening.
Hal ini dilakukan secara berulang dengan repitisi gerakan tangan yang halus dan beberapa saat kemudian, hujan mulai mengguyur.
Seketika tulisan yang ditulis olehnya terhapus oleh hujan, tetapi jejak bentuk yang pertama dilukiskan tidak menghilang. Meskipun hujan terus mengguyurnya, Harsono tetap menuliskan namanya pada kaca tersebut.
Tiga buah meja yang masing-masing alas mejanya dilubangi secara halus dengan nama mandarin Harsono yang ditambahi dengan tiga buah kursi sekolah.
Karya ini merupakan seri lanjutan dari karya yang sudah pernah dibuat FX Harsono sebelumnya yang berjudul Rewriting The Erased.
Di sisi lain, ada romansa kebudayaan yang dibawa yaitu melalui karya The Past of Past/ Migration (2013). Karya ini menampilkan sebuah perahu yang berisi lampu-lampu lilin eletrik merah yang seakan menabrak sebuah gundukan balok-balok tanah yang berbentuk huruf-huruf dan diujungnya menanti sebuah kursi bangsawan dengan kipas didudukannya.
Hal ini menggambarkan bahwa kebudayaan tionghoa telah bercampur satu sama lain seperti yang digambarkan melalui huruf-huruf tadi. Huruf tersebut berjumlah 28 ribu yang melambangkan 28 ribu kebudayaan yang ada di dunia.
Selain itu, FX Harsono juga membawakan kebudayaan literasi melalui sajak kata-kata bijak yang dibuat dalam susunan kata melalui lampu neon yang ditempatkan pada sembilan peti kotak besi yang dibiarkan setengah terbuka.
Karya yang berjudul Light in the Suitcase (2014) ini biasanya terpampang pada rumah-rumah orang-orang beretnis Tionghoa pada zaman dahulu. Karya yang dengan menggunakan konsep lampu neon juga terlihat pada karya The Light Of Journey (2014).
Karya ini menampilkan sebuah perahu terbalik yang seakan menancap di pada permukaan tanah dan memiliki goresan kata yang bertuliskan “Bercita-cita besar tak lupa moral” .
Memang seperti inilah FX Harsono, yang selalu menghadirkan dan merawat identitas dirinya melalui karya-karya yang menakjubkan.
Sebagai kurator pameran, Agung Hujatnikajennong mengatakan dalam pengatar pameran bahwa, ”Narasi tentang sejarah etnis Tionghoa di Indonesia, ia kemas dengan metafor-metafor yang kaya dan menggugah. Mewakili perlintasan ulang-alik antara ‘data’ dan ‘imajinasi’, antara objektivitas dan subjektivitas, proses kreatif Harsono melahirkan tafsir artistik yang menyentuh tentang sejarah dan ingatan.”
Karya-karya FX Harsono memang menggugah ingatan kita untuk terus merawat akal sehat dan menolak lupa terhadap sesuatu kejadian kelam yang pernah terjadi di lingkungan sekitar kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H