Siapa takut?
Ketiga masalah spesifik budidaya mutiara di atas bukannya tanpa celah pemecahan. Masalah budidaya sepertinya terlalu ringan untuk dipecahkan. Pelatihan budidaya yang intensif dengan sistem magang atau penyuluhan dan pendampingan ahli dapat mengatasi masalah ini. Namun masalah pemasaran dan kebijakan yang berimplikasi pada ketersediaan penyisip inti handal yang lebih diperhitungkan. Perusahaan mutiara besar dunia yang berekspansi di Indonesia bisa dijadikan Bapak Asuh sebagai pemecahan masalah pemasaran. Kondisi ini tentu saja dibutuhkan campurtangan pemerintah sebagai fasilitator. Hal yang sama juga dilakukan untuk mengatasi kelangkaan penyisip inti mutiara. Beberapa perusahaan mutiara (umumnya selain milik Jepang) telah melakukan training penyisip mutiara. Sebuah profesi yang sangat mahal namun beresiko. Karena di tangan merekalah urat nadi bisnis ini. Cara lain mengatasi kelangkaan penyisip untuk skala usaha kecil adalah dengan berkongsi bersama untuk menyewa penyisip handal. Hal ini sudah dilakukan di beberapa negara Pasifik Selatan.
Bisnis mutiara rakyat bisa menjadi usaha rumah tangga. Koperasi yang sudah ada akan menjadi wahana pemersatu antar kelompok yang nantinya berimbas pada kokohnya bisnis ini. Peran koperasi akan menyentuh mulai dari suplai bibit, pemeliharaan, ketersediaan pasar bahkan sampai pada ketersediaan penyisip inti mutiara handal yang menjadi momok para pelaku bisnis ini. Usaha mutiara skala rumah tangga ini bukan tanpa bukti. Jepang dan China sudah membuktikannya! Mengapa Indonesia tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H