Mohon tunggu...
Agus Kurniawan
Agus Kurniawan Mohon Tunggu... -

Konsultan IT, penulis hobi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memperpanjang Horison Waktu

31 Juli 2010   03:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:25 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Memperpanjang Horison Waktu Foto ini milik National Geographics. Anda harus menonton bagian akhir "Cavemen", film rekonstruksi-dokumenter bikinan BBC. Kira-kira 150.000 tahun yang lalu, sekelompok homo sapiens -- leluhur manusia modern yang tinggal di Afrika -- melakukan tindakan yang menyelamatkan mereka dari kepunahan akibat kekeringan yang ganas. Sederhana saja yang mereka lakukan, manusia perintis itu memiliki kebiasaan menyimpan air di cangkang-cangkang telor raksasa sebagai persediaan. Yang luar biasa adalah bahwa tindakan serupa itu tak pernah dilakukan oleh spesies-spesies lain sebelumnya. Ini sebuah gerakan moral baru, mempersiapkan masa depan. Alhasil, homo sapiens pun lestari hingga saat ini. Dalam usia bumi "yang baru mencapai" jutaan tahun ini, berbagai spesies telah lahir dan musnah. Generasi demi generasi datang dan pergi. Sebagian besar kehancuran spesies-spesies bumi itu diakibatkan oleh ketidakmampuannya mengantisipasi perubahan. Neanderthal misalnya. Manusia purba ini hidup di sekitar pegunungan Portugal, pada jaman yang paling dekat dengan kita, 200.000 hingga 30.000 tahun yang lalu. Mereka hidup di era yang kita sebut jaman es, ketika wilayah kutub dan sub tropis mengalami pembekuan yang panjang. Neanderthal itu pun tak luput dari kemusnahan. Padahal mereka secara fisik sangat kuat, rahangnya besar, badannya kekar, jago berburu, bahkan mampu bertahan dalam suhu yang ekstra dingin. Prasyarat fisik untuk bisa lestari telah dimilikinya. Mereka musnah oleh ketidakmampuannya mengantisipasi perubahan: bagaimana jika es tiba-tiba mencair dan ekosistem tiba-tiba berubah? Mereka tak memiliki kemampuan moral layaknya homo sapiens, mempersiapkan masa depan. Seorang teman melontarkan pernyataan yang membuat telinga saya memerah, "Bangsa kita tidak akan pernah bisa maju, progresif, kompetitif, dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia". Sebab, memang tidak ada alasan untuk itu. Kita hidup di tanah surga, dan mewarisi cara hidup "para penghuni surga". Kita memiliki -- mengutip Koes Plus -- bukan lagi lautan, tetapi kolam susu. Tongkat kayu ditancapkan menjadi perdu. (Ngomong-ngomong, syair sederhana ini ternyata jauh lebih cerdas dan intelektual dibanding kebanyakan syair-syair lagu pop lainnya). Kita tak mengenal tekanan alam yang ekstrim, seperti halnya kekeringan di Afrika atau pergantian musim yang merepotkan di Eropa. Kita bahkan tak perlu menyimpan air di cangkang telur karena air dan sumber makanan melimpah-ruah. Kita mengalami determinisme geo-sosial yang gampang kita tebak: merasa tidak perlu bersusah-payah mempersiapkan hari esok. Kita merasa tercukupi hari ini. Tak perlu mempersiapkan cadangan minyak, cadangan makanan, cadangan hutan, atau cadangan devisa. Tak ada yang perlu dicemaskan. Bahasa Inggris menyebutnya sebagai complacency, keterlenaan. Cara berpikir seperti itu kita alami setiap hari. Kita sangat disibukkan oleh upaya untuk memenuhi kesenangan hari ini. Pemerintah dan para politisi sibuk mempertahankan kekuasaan yang hanya berusia lima tahun. Kita tak memiliki perencanaan yang rasional untuk sepuluh, dua puluh, apalagi lima puluh tahun ke depan. Kita tak mampu mencegah eksploitasi besar-besaran sumber daya alam -- bahkan air minum -- oleh penguasa modal. Kita tak mampu menjaga kelestarian hutan dari penjarahan orang-orang yang bahkan kehidupan sehari-harinya tidak bergantung pada hutan. Yang lebih tragis lagi adalah bahwa hasil jarahan sumber daya alam dan hutan kita justru dipakai oleh orang lain untuk mempersiapkan masa depan mereka sendiri. Kita tak melakukan seperti yang dilakukan homo sapiens leluhur kita di Afrika, mempersiapkan masa depan. Mempersiapkan masa depan adalah upaya memperpanjang horison waktu. Memperpanjang orientasi hidup kita, bukan hanya senang dan nyaman hari ini, tetapi juga lestari di masa depan. Bukan lagi kebutuhan survival generasi masa kini, tetapi juga generasi selanjutnya. Kalau kita ingin punya penghasilan sendiri di masa tua, misalnya -- ketika kita sudah tidak bisa lagi bekerja, maka kita mempersiapkan jaminan pensiun. Anak-anak kita dibiasakan menabung agar kelak memiliki cadangan uang ketika suatu hari diperlukan. Uang pensiun dan menabung adalah contoh praktis sebuah upaya memperpanjang horison waktu. Saya pernah mengutip nasihat seorang guru ngaji, bahwa tidak ada bangsa yang lestari bila tak memiliki tradisi puasa. Perhatikan dua kata yang dipakai oleh sang guru: puasa (pengendalian diri) dan lestari (memperpanjang horison waktu). Dulu saya memaknai puasa secara ritualistik-eksoteris saja, sebagai sebuah cara ibadah. Lebih seperti memaknai suatu festival. Tetapi guru itu mengajarkan kepada saya tentang makna yang lebih dalam dan konseptual: puasa adalah sebuah upaya memperpanjang horison waktu. Ketika kita berpuasa, kita diharuskan meminimalisasi tindakan apapun yang bersifat eksplotatif, tetapi pada saat yang sama kita diharuskan memberi sebanyak-banyaknya. Sang guru menyebutnya dengan istilah "cara kerja Tuhan". Salah satu sifat manusia yang sangat buruk bukanlah manusia tidak cepat paham atau bodoh. Tetapi bahwa manusia cepat sekali terlena. Lebih mudah lupa pada tujuan jangka panjang karena menemukan kenyamanan jangka pendek. Puasa adalah sebuah disiplin yang diciptakan untuk mengingatkan kita pada tujuan jangka panjang. Bukan semata-mata untuk mendapatkan surga di hari akhir, tetapi justru yang lebih penting untuk melestarikan surga yang sudah ada di bumi saat ini, yang kita nikmati sewaktu kita masih hidup: alam dan kehidupan ini. Saya sering dipojokkan oleh pertanyaan hati nurani: bagaimana mungkin Allah akan menghadiahi kita surga di hari akhir sedangkan kita saat ini bahkan tidak bisa memelihara surga yang ada di depan mata? Dulu, Neanderthal dan spesies-spesies lainnya punah oleh kekuatan alam. Tetapi kini, ketika alam telah menjadi ekosistem yang stabil, ancaman kepunahan justru bukan lagi datang dari alam. Tetapi dari penghuninya sendiri, spesies istimewa yang paling cerdas dan sempurna: manusia. Perang nuklir, kerusakan alam, dan kerakusan telah menjadi ancaman nyata bagi kelestarian hidup kita. Selamat menyambut bulan Ramadan, bulan penuh berkah. Semoga dengan itu, kita dan anak cucu kita masih bisa lestari. Agus Kurniawan Goeska@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun