Sepanjang 2021, saham Unilever (IDX:UNVR) sudah turun disekitaran 50%. Hal ini tentu saja mengejutkan mengingat saham ini begitu perkasa sepanjang 30 tahun terakhir.Â
Selalu berada dalam jajaran LQ45. Tetapi penurunan sebesar 50% justru terjadi disaat pandemi covid19 berangsur mereda, tentu saja menjadi pertanyaan besar atas situasi yang sebenarnya,
Dalam video youtube tersebut dijelaskan mengenai kinerja perusahaan secara finansial, diantaranya tentang grafik penjualan, rasio Net Profit Margin, komposisi aset perusahaan dan indikator indikator lain yang intinya memotret kinerja perusahaan secara keuangan.
Dari sisi harga saham juga dijelaskan bahwa saham unilever, walaupun sudah terkoreksi sebesar 50% tetapi dilihat dari rasio Harga saham per ekuitas diwakili per lembar saham, masih diatas 25 kali. Artinya saham Unilever masih mahal. Hal ini bisa dimengerti bahwa saham ini sudah mengalami akumulasi over value selama bertahun tahun.
Untuk mengerti kalkulasi kinerja keuangannya akan lebih mudah jika langsung melihat video diatas. Dalam artikel ini saya hanya ingin menyoroti apa yang sebenarnya terjadi dari bisnis riilnya, mengapa saham ini begitu terpuruk.
Serbuan UMKM dipasar makanan dan minuman.
Setelah dua tahun pandemi covid19 dengan pembatasan sosial yang ketat telah menghantam pendapatan sebagian besar rumah tangga di Indonesia. Hal ini tiak bisa dilepaskan dari penutupan gerai di mall dan pembatasan aktivitas perkantoran yang ujungnya adalah PHK ataupun semi PHK.
Sisi baiknya pandemi Covid19 juga melahirkan pedagang pedagang makanan minuman dadakan, baik yang dijual online maupun offline. di pasar offline ditandai dengan munculnya kios kios makanan di komplek komplek perumahan yang dipasarkan melalui grup WA, poster dan flyer dengan iming iming bebas ongkir.
Kompetisi bisnis makanan minuman offline ini sangat ketat dan menciptakan produk - produk yang makin bervariasi dengan harga kompetitif. Produk - produk makanan minuman inilah yang pada akhirnya terbukti menghambat ekspansi bisnis makanan minuman eks pabrik besar.Â
Tekanan terhadap industri makanan minuman pabrikan besar, sebenarnya tidak cuma dialami oleh unilever, tetapi juga Garuda Food, Orang Tua Grup dan lain lainnya. Hal ini bisa dilihat dari grafik penjualannya yang cenderung datar menurun.
Produk Toiletris Subtitusi
Saat ini muncul pedagang - pedagang sabun cuci, sabun mandi, cairan pel lantai dll dibanyak komplek perumahan. Mereka ini dari awal memang tidak mencantumkan merk, tetapi juga tidak memalsukan merk. Produk - produk ini lebih masuk pada segmen yang sensitive harga, dimana merk dianggap tidak penting asalkan manfaatnya sama.
Dari sisi bisnis jelas produsen produk toiletris tanpa merk ini lebih efisien, Jika dianalogikan ya ini mirip minyak goreng curah yang pasti lebih murah dibandingkan minyak goreng ber merk.Â
Biaya produksi rendah, rantai distribusi pendek dan bebas biaya promosi tentu saja menjadikan produk ini sangat kompetitif. Dari hasil pengamatan saya, memang produk produk ini memiliki harga jual yang sangat rendah dibandingkan produk serupa dari pabrikan besar.
Sebagian besar produsen pelaku usaha ini juga korban PHK pabrik - pabrik besar. Jadi sebenarnya dari sisi proses produksi, bahan baku dan kualitas tidak berbeda jauh dibandingkan produk dari pabrikan besar.
Melihat fakta diatas bisa dimengerti mengapa Unilver terlihat kewalahan menghadapi serbuan UMKM dibidang toiletris ini. UMKM ini semacam perang gerilya dimana jumlahnya banyak dan berukuran kecil, sehingga sulit dipetakan persaingannya oleh pabrikan besar
Unilever Gagal Mengantipasi Kebangkitan UMKM
Dilihat dari grafik penjualan dan grafik harga saham, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya unilever gagal mempertahankan pangsa pasarnya. Apalagi belanja modal yang rencananya 1 triliun rupiah di tahun 2021 dipotong menjadi hanya 500 miliar rupiah.
Jelas ini mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk mempersiapkan produk baru ataupun strategi baru menghadapi perubahan pola konsumsi masyarakat paska pandemi covid19.
Respon investor Pasar Saham.
Karakter utama investor pasar saham adalah skeptis, mereka sangat sensitif terhdap trend. Hal hal kecil yang dianggap menjadi indikasi kesulitan perusahaan dimasa depan terkadang di respon berlebihan. Tetapi hal sebaliknya bisa terjadi ketika optimisme muncul, itu sebabnya harga saham hampir selalu berfluktuasi lebih dari realitas bisnisnya.
Bagi UMKM, ini adalah kreativitas masyarakat bawah yang luar biasa. Dibandingkan menyerah pada PHK dan kesulitan membuka tokonya, mereka justru tumbuh menjadi UMKM yang kompetitif dan efisien. Kompetitif dan efisien ini bukan cuma slogan semata, terbukti produk produk UMKM tidak saja berjaya dipasar offline.Â
Tetapi jika kita menengok bermacam makanan, minuman dan kudapan di Shopee Foof, Gofood, Grabfood, kita bisa mengerti mengapa omset biskuit pabrikan di mini market menjadi kurang laku.
Semoga UMKM terus bertumbuh, tidak saja pada bidang makanan, minuman dan toiletris, tetapi juga industri plastik dan turunannya, industri elektronika yang saat ini banyak dibanjiri produk dari luar negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H